Rabu, 29 April 2015

Analisis Krisis Ekonomi Tahun 1997-1998

Diposting oleh Unknown di 10:49 13 komentar
PENDAHULUAN
            Krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997 adalah yang paling parah sepanjang orde baru. Ditandai dengan merosotnya kurs rupiah terhadap dolar yang luar biasa, serta menurunnya pendapatan per kapita bangsa kita yang sangat drastis. Lebih jauh lagi, sejumlah pabrik dan industri yang hampir gulung tikar atau disita oleh kreditor menyusul utang sebagian pengusaha yang jatuh tempo pada tahun 1998, dan tidak lama lagi akan menghasilkan ribuan pengangguran baru dengan sederet persoalan Sosial, Ekonomi, dan Politik yang baru pula.

            Sejak kemerdekaan hingga saat ini, Indonesia telah mengalami beberapa fase pemerintahan. Salah satunya adalah zaman pemerintahan orde baru hingga Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya. Pada pemerintahan ini, dapat dikatakan bahwa ekonomi Indonesia berkembang pesat. Dengan kembali membaiknya hubungan politik dengan negara-negara barat dan adanya kesungguhan pemerintah untuk melakukan rekonstruksi dan pembangunan ekonomi,maka arus modal mulai masuk kembali ke Indonesia. PMA dan bantuan luar negeri setiap tahun terus meningkat. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, terutama ekspor yang sempat mengalami kemunduran pada masa orde lama. Indonesia juga sempat masuk dalam kelompok Asian Tiger, yakni Negara-negara yang tingkat prekonomiannya sangat tinggi.

            Namun disamping kelebihan-kelebihan tersebut, terdapat kekurangan dalam pemerintahan orde baru. Kebijakan-kebijakan ekonomi masa orde baru memang telah membuat pertumbuhan ekonomi meningkat pesat, tetapi dengan biaya yang sangat mahal dan fundamental ekonomi yang rapuh. Hal ini dapat dilihat pada buruknya kondisi sektor perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap modal asing, termasuk pinjaman dan impor. Inilah yang akhirnya membuat Indonesia dilanda suatu krisis ekonomi yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada pertengahan tahun 1997. Kecenderungan melemahnya rupiah semakin menjadi ketika terjadi penembakan mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 dan aksi penjarahan pada tanggal 14 Mei 1998.

            Sejak berdirirnya orde baru tahun 1966-1998, terjadi krisis rupiah pada pertengahan tahun 1997 yang berkembang menjadi suatu krisis ekonomi yang besar. Krisis pada tahun ini jauh lebih parah dan kompleks dibandingkan dengan krisis-krisis sebelumnya yang pernah dialami oleh Indonesia. Hal ini terbukti dengan mundurnya Soeharto sebagai presiden. Kerusuhan Mei 1998, menghancurkan sektor perbankan dan indikator-indikator lainnya, baik ekonomi, sosial, maupun politik. Faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab suatu krisis moneter yang berubah menjadi krisis ekonomi yang besar, yakni terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS lebih dari 200% dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang.



PEMBAHASAN
A. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KRISIS

            Ada asap pasti ada api. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa sesuatu yang terjadi, itu pasti ada penyebabnya. Begitu pula dengan adanya krisis yang terjadi, pasti ada faktor-faktor yang menyebabkan krisis itu terjadi. Analisis dari faktor-faktor ini diperlukan, karena untuk menangani krisis tersebut tergantung dari ketepatan diagnosa.

            Tabel Pertumbuhan ekonomi dari tahun 1984 – 1999.

          Menjelang meletupnya krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis keuangan pada pertengahan tahun 1997, Indonesia termasuk di antara beberapa negara berkembang yang dinilai sebagai sangat berhasil dalam pembangunannya. Ekonomi Indonesia termasuk di beberapa negara Asia yang mengalami kemajuan sedemikian rupa sehingga disebut sebagai miracle. Indonesia sering dijadikan contoh untuk negara-negara berkembang lain bagi program-program  yang  dianggap  berhasil,  seperti  dalam  bidang  keluarga berencana dan penanggulangan kemiskinan. Beberapa indikator makro kondisi ekonomi Indonesia beberapa saat sebelum krisis dapat diangkat kembali sebagai bukti.

Peningkatan pendapatan per kapita.

            Dalam kurun waktu tiga puluh tahun, sejak tahun1965 sampai 1995, PDB per kapita secara riil mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 6,6% setiap tahunnya. Pada pertengahan tahun 1960-an Indonesia lebih miskin dari India, kemudian pada pertengahan tahun 1990-an PDB per kapita Indonesia melampaui US$ 1.000 yang berarti lebih dari tiga kalinya India (World Bank 1997). Untuk melihat perbandingan pertumbuhan PDB per kapita Indonesia dengan India, bisa dilihat table berikut.
Penurunan laju inflasi.

            Sekitar awal tahun 1960 sampai akhir tahun 1960-an Indonesia mengalami inflasi yang luar biasa tinggi bahkan pernah sampai 600%, tetapi sejak itu lambat laun dapat dikendalikan. Sampai dengan tahun-tahun terakhir sebelum terjadinya krisis (1997) , Indonesia berhasil menekan laju inflasinya pada angka satu digit saja. Tetapi, pada awal tahun 1998 laju inflasi Indonesia mulai tidak terkendali, sampai akhirnya terjadi krisis pada pertengahan tahun 1998. Pada awal tahun 1999 setelah krisis berakhir tingkat inflasi mulai bisa dikendalikan dan pada akhir 1999 tingkat inflasi sudah kembali normal pada angka satu digit.

Tabel laju inflasi Indonesia tahun 1997 – 2000.
Peningkatan pendapatan petani dan tercapainya swasembada pangan.

            Berbagai kebijakan dan langkah pembangunan yang telah berhasil mengendalikan inflasi dan meredam fluktuasi harga barang, dibarengi dengan investasi yang strategis dalam peningkatan produktivitas pertanian. Dengan demikian kebijakan itu telah meningkatkan pendapatan petani dan masyarakat di pedesaan, sekaligus menciptakan stabilitas harga beras yang menjadi makanan pokok rakyat Indonesia. Peningkatan pendapatan masyarakat di tingkat bawah ini telah mendorong tumbuhnya  berbagai  industri, baik industri kecil maupun industri besar. Juga telah kita saksikan berkembangnya ekonomi rakyat yang ternyata cukup tangguh dalam menghadapi berbagai gejolak ekonomi.

Peningkatan output manufaktur dalam sumbangannya terhadap PDB.

            Peran industri pengolahan dalam PDB mengalami kenaikan yang sangat berarti, dari 7,6% pada tahun 1973 menjadi hampir 25% pada tahun 1995. Hal ini khususnya didorong oleh pertumbuhan ekspor produk-produk olahan seperti garment  (pakaian jadi), produk kain dan alas kaki, barang-barang elektronik dan kayu lapis. Ekspor non migas, yang kini telah menjadi bagian terbesar dari produk industri pengolahan kita, mengalami kenaikan sekitar 22% setiap tahunnya selama satu dekade penuh, yaitu sejak tahun 1985 ketika deregulasi diberlakukan untuk pertama kalinya sampai dengan tahun 1995, dan kenaikan ini adalah empat kali lebih cepat dibandingkan dengan rata-rata kenaikan perdagangan dunia (Stern 2000).

Penurunan tingkat kemiskinan

            Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional mengalami penurunan secara dramatis, yaitu dari sekitar 69% pada tahun1970 menjadi 49% pada tahun 1976 kemudian menjadi 15% pada tahun 1990 dan mencapai11,5% pada tahun 1996. Sebelum terjadinya krisis, diperkirakan bahwa menjelang tahun 2005, ketika PDB per kapita Indonesia mencapai US$2.300, dan ketika Indonesia layak disebut sebagai a middle-income industrialized country, angka kemiskinan akan menurun secara tajam menjadi kurang dari 5%, atau kira-kira sama tingkatannya dengan newlyindustrialized country lainnya. Berdasarkan salah satu dokumen Bank Dunia (1997), di antara negara-negara sedang berkembang Indonesia dinyatakan sebagai salah satu negara yang paling cepat mengurangi angka kemiskinannya. Prestasi ini diperoleh setelah kita melakukan upaya pembangunan di berbagai bidang dengan strategi pertumbuhan yang berorientasi padat karya dan didukung oleh pembangunan sumber daya manusianya, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan. Pada waktu yang bersamaan, upaya tersebut telah meningkatkan pendapatan riil masyarakat dengan cepat, sama cepatnya dengan peningkatan PDB  perkapita. 


Lalu setelah itu, krisis pun datang dan bergejolak di Indonesia. Berikut ini Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun 1997 - 1998 :

1.   Jumlah hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.

            Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau hutang publik lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani (manageable). Akan tetapi untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (Data Bank Dunia, 1998). Hal ini mirip dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis. Dalam banyak hal, boleh dikatakan bahwa negara telah menjadi korban dari keberhasilannya sendiri. Mengapa demikian? Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka.

            Daya tarik dari “dynamic economies’” ini telah menyebabkan net capital inflows atau arus modal masuk (yang meliputi hutang jangka panjang, penanaman modal asing, dan equity purchases) ke wilayah Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih dari US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997). Sayangnya, banyaknya modal yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian atau industri, tetapi justru masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia dan Thailand, ke sektor perumahan (real estate). Di sektor-sektor ini memang terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi, tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan ekonomi nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain, karena derasnya arus modal yang masuk itu.

            Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga keuangan membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan” yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds 1999). Ini adalah akibat dari sistem yang sering disebut sebagai “crony capitalism”. Moral hazard dan penggelembungan aset tersebut, seperti dijelaskan oleh Krugman (1998), adalah suatu strategi “kalau untung aku yang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung (heads I win tails somebody else loses)”. Di tengah pusaran (virtous circle) yang semakin hari makin membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman (maturity) hutang swasta tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank 1998).

 

2. Banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri dan melemahnya angka rupiah yang menyebabkan krisis moneter.

            Sebagian besar produksi terhenti dan laju pertumbuhan ekonomi selama periode 1962 - 1966 kurang dari 2% yang mengakibatkan penurunan pendapatan per kapita. Defisit anggaran belanja pemerintah yang sebagian besar dibiayai dengan kredit dari BI meningkat tajam dari 63%  dari penerimaan pemerintah tahun 1962 menjadi 127% tahun 1966.Selain itu,buruknya perekonomian Indonesia masa transisi juga disebabkan oleh besarnya defisit neraca perdagangan dan utang luar negeri, yang kebanyakan diperoleh dari negara blok timur serta inflasi yang sangat tinggi. Disamping itu, pengawasan devisa yang amat ketat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS naik dua atau tiga kali lipat. Akibatnya terjadi kegiatan spekulatif dan pelarian modal ke luar negeri. Hal ini memperburuk perekonomian Indonesia pada masa itu.

            Bulan September 1984, Indonesia mengalami krisis perbankan, yang bermula dari deregulasi perbankan 1 Juni 1983 yang memaksa bank-bank negara untuk memobilisasi dana mereka dan memikul risiko kredit macet,serta bebas untuk menentukan tingkat suku bunga, baik deposito berjangka maupun kredit (Nasution,1987). Masalah-masalah tersebut terus berlangsung hingga terjadi krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997.

            Mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan di sektor perbankan dan pasar modal.

Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain kemudahan membuka bank baru, pemberian ijin kepada bank asing beroperasi di Jakarta, penghapusan batas kredit, dan mengijinkan investor asing memiliki saham domestik. Paket kebijakan itu diantaranya adalah Paket 27 Oktober 1988 . Paket itu adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah perbankan Indonesia. Hanya dengan modal Rp 10 milyar, siapa saja bisa mendirikan bank baru. Paket Oktober 1988 (Pakto 88) dianggap telah banyak mengubah kehidupan perbankan nasional. Keberhasilan itu dinyatakan dalam angka-angka absolut seperti pada jumlah bank, kantor cabang, jumlah dana yang dihimpun, jumlah kredit yang disalurkan, tenaga kerja yang mampu dipekerjakan, serta volume usaha dalam bentuk aset dan hasil-hasilnya. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi. Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya yang tidak sehat.

            Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir tahun itu telah berubah menjadi krisis ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, menyebabkan harga-harga naik drastis. Banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran meningkat dan bahan-bahan sembako semakin langka. Krisis ini tetap terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, cadangan devisa masih cukup besar dan realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.

Berikut Tabel Pertumbuhan ekonomi, Tingkat inflasi, dll.
             Menanggapi perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mulai merosot sejak bulan Mei 1997, pada bulan Juli 1997 BI melakukan empat kali intervensi dengan memperlebar rentang intervensi. Namun pengaruhnya tidak banyak. Nilai rupiah dalam dolar AS terus tertekan. Tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai nilai terendah hingga saat itu, yakni dari Rp2.655,00 menjadi Rp2.682,00 per dollar AS. BI akhirnya menghapuskan rentang intervensi dan pada akhirnya rupiah turun ke Rp2.755,00 per dollar AS. Tetapi terkadang nilai rupiah juga mengalami penguatan beberapa poin. Misalnya, pada bulan Maret 1988 nilai rupiah mencapai Rp10.550,00 untuk satu dollar AS, walaupun sebelumnya, antara bulan Januari dan Februari sempat menembus Rp11.000,00 rupiah per dollar AS. Selama periode Agustus 1997-1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terendah terjadi pada bulan Juli 1998, yakni mencapai nilai antara Rp14.000,00 dan Rp15.000,00 per dollar AS. Sedangkan dari bulan September 1998 hingga Mei 1999, perkembangan kurs rupiah terhadap dolar AS berada pada nilai antara Rp8.000,00 dan Rp11.000,00 per dollar AS. Selama periode 1 Januari 1998 hingga 5 Agustus 1998, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan mata uang-mata uang Negara-negara Asia lainnya yang juga mengalami depresiasi terhadap dolar AS selama periode tersebut.

Perubahan Nilai Tukar Mata Uang Beberapa Negara Asia : 30/6/97-8/5/98
          Sebagai konsekuensinya, BI pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Dengan demikian, BI tidak melakukan intervensi lagi di pasar valuta asing, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar.

 
3. Sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.

            Hill (1999) menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-intrik politiknya yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak pemerintah, untuk mengambil tindakan tegas di tengah krisis. Jauh sebelum krisis terjadi, investor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan kurangnya transparansi, dan lemahnya perlindungan maupun kepastian hukum. Persoalan ini sering dikaitkan dengan tingginya “biaya siluman” yang harus dikeluarkan bila orang melakukan kegiatan bisnis di sini. Anehnya, selama Indonesia menikmati economic boom persepsi negatif tersebut tidak terlalu menghambat ekonomi Indonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis. Masalah ini pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan pemerintah untuk bertindak cepat, adil, dan efektif. Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.


4.  Perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.

            Faktor ini merupakan hal yang paling sulit diatasi. Kegagalan dalam mengembalikan stabilitas sosial-politik telah mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum pemulihan secara mantap dan berkesinambungan.

            Meskipun persoalan perbankan dan hutang swasta menjadi penyebab dari krisis ekonomi, namun, kedua faktor yang disebut terakhir di atas adalah penyebab lambatnya pemulihan krisis di Indonesia. Pemulihan ekonomi masyarakat, bahkan tidak mungkin dicapai, tanpa pulihnya kepercayaan pasar, dan kepercayaan pasar tidak mungkin pulih tanpa stabilitas politik dan adanya permerintahan yang terpercaya (credible).


5. Krisis ekonomi yang berawal dari Thailand dan berdampak pada perekonomian di Negara Negara  Asean.

            Menurut Fischer (1998), sesungguhnya pada masa kejayaan Negara-negara Asia Tenggara, krisis di beberapa negara, seperti Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia, sudah bisa diramalkan meski waktunya tidak dapat dipastikan. Misalnya di Thailand dan Indonesia, defisit neraca perdagangan terlalu besar dan terus meningkat setiap tahun, sementara pasar properti dan pasar modal di dalam negeri berkembang pesat tanpa terkendali. Selain itu, nilai tukar mata uang di dua Negara tersebut dipatok terhadap dolar AS terlalu rendah yang mengakibatkan ada kecenderungan besar dari dunia usaha didalam negeri untuk melakukan pinjaman luar negeri, sehingga banyak perusahaan dan lembaga keuangan di negara-negara itu menjadi sangat rentan terhadap risiko perubahan nilai tukar valuta asing. Dan yang terakhir adalah aturan serta pengawasan keuangan oleh otoriter moneter di Thailand dan Indonesia yang sangat longgar hingga kualitas pinjaman portfolio perbankan sangat rendah.

            Dari tahun 1985 ke tahun 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada 1996, dana hedge Amerika telah menjual $400 juta mata uang Thai. Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok 25 bath per dollar AS. Pada tanggal 14 dan tanggal 15 Mei 1997, nilai tukar bath Thailand terhadap dolar AS mengalami goncangan akibat para investor asing mengambil keputusan “jual”, karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian dan ketidakstabilan politik Negara Thailand. Untuk mempertahankan nilai tukar bath agar tidak jatuh terus, Thailand melakukan intervensi yang didukung oleh Bank Sentral Singapura. Namun, pada tanggal 2 Juli 1997, Bank Sentral Thailand mengumumkan bahwa nilai tukar bath dibebaskan dari ikatan dollar AS dan meminta bantuan IMF. Pengumuman ini menyebabkan nilai bath terdepresiasi sekitar 15-20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 bath per dollar AS. Pada 1997, sebenarnya kondisi ekonomi di Indonesia tampak jauh dari krisis.Tidak seperti Thailand, tingkat inflasi Indonesia lebih rendah. Nilai tukar rupiah terhadap dolar, menguat. Dalam kondisi ekonomi seperti itulah, banyak perusahaan di Indonesia meminjam uang dalam bentuk dolar AS.

            Krisis moneter yang terjadi di Thailand ini, menyebabkan Indonesia dan beberapa negara Asia, seperti Filipina, Korea dan Malaysia mengalami krisis keuangan. Ketika krisis melanda Thailand, nilai baht terhadap dolar anjlok dan menyebabkan nilai dolar menguat. Penguatan nilai tukar dolar berimbas ke rupiah. Sekitar bulan Juli 1997, di Indonesia terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, nilai rupiah terus merosot. Di bulan Agustus 1997 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah dari Rp2.500,00 menjadi Rp2.650,00 per dolar AS. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil. Padahal, pada saat itu hutang luar negeri Indonesia, baik swasta maupun pemerintah, sudah sangat besar. Tatanan perbankan nasional kacau dan cadangan devisa semakin menipis. Perusahaan yang tadinya banyak meminjam dolar (ketika nilai tukar rupiah kuat terhadap dolar), kini sibuk memburu atau membeli dolar untuk membayar bunga pinjaman mereka yang telah jatuh tempo, dan harus dibayar dengan dolar. Nilai rupiah pun semakin jatuh lebih dalam lagi. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi tidak mampu memperbaiki keadaan. Malahan akhirnya paket bantuan IMF itu, yang dalam penggunaannya banyak terjadi penyelewengan, semakin menambah beban utang yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia.


Indikator-indikator Makro ekonomi Indonesia Sebelum Krisis Finansial Asia

Indikator Makro Ekonomi Tahun Besaran
6. Harga minyak bumi tidak stabil

            Fluktuasi harga minyak bumi yang sulit diprediksi dan kecenderungan menurunnya harga minyak bumi di pasar dunia pada awal 1980, telah mendorong pemerintah untuk mengalihkan ketergantungan perekonomian dari sektor migas ke sektor non migas. Terkait dengan hal tersebut pemerintah melakukan deregulasi di bidang industrialisasi, antara lain memberi kelonggaran bagi investor asing di bidang ekspor-impor, menurunkan tarif bea masuk impor bahan baku dan barang modal, menyederhanakan prosedur ekspor impor, dan memberikan fasilitas drawback system pada impor bahan baku dan barang modal yang digunakan untuk ekspor.

 

B. DAMPAK KRISIS TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA


            Sejak bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena imbas krisis moneter yang menimpa dunia khususnya Asia Tenggara. Struktur ekonomi nasional Indonesia saat itu masih lemah untuk mampu menghadapi krisis global tersebut. Dampak negatif yang ditimbulkan antara lain, kurs rupiah terhadap dollar AS melemah pada tanggal 1 Agustus 1997, pemerintah melikuidasi 16 bank bermasalah pada akhir tahun 1997, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengawasi 40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk membantu bank-bank bermasalah tersebut. Namun kenyataannya terjadi manipulasi besar-besaran terhadap dana KLBI yang murah tersebut. Dampak negatif lainnya adalah kepercayaan internasional terhadap Indonesia menurun, perusahaan milik Negara dan swasta banyak yang tidak dapat membayar utang luar negeri yang akan dan telah jatuh tempo, angka pemutusan hubungan kerja meningkat karena banyak perusahaan yang melakukan efisiensi atau menghentikan kegiatannya, kesulitan menutup APBN, biaya sekolah di luar negeri melonjak, laju inflasi yang tinggi, angka kemiskinan meningkat dan persediaan barang nasional, khususnya Sembilan bahan pokok di pasaran mulai menipis pada akhir tahun 1997. Akibatnya, harga-harga barang naik tidak terkendali dan berarti biaya hidup semakin tinggi.

            Meningkatnya ekspor dan investasi telah mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat pesat hingga mencapai rata-rata diatas 7% sejak tahun 1989-1996. Kuatnya fundamental ekonomi menjadi daya tarik bagi investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia. Hal tersebut telah mendorong peningkatan utang swasta berjangka pendek maupun jangka panjang hingga mencapai sekitar 157% terhadap PDB pada tahun 1998. Sayangnya utang-utang tersebut tidak dimanfaatkan pada sektor yang produksif seperti industry komoditas ekspor, tetapi justru ditanamkan pada sektor-sektor kurang produktif seperti konsumsi, real estate, dan lainnya. Sedangkan kinerja ekspor justru mengalami perlambatan sebagai dampak dari menguatnya nilai tukar rupiah.

 
Tabel Pergerakan Rasio Utang Luar Negeri 1990-1999.
              Di sektor perbankan, mekanisme pengawasan tidak efektif dan tidak mampu mengikuti pesatnya pertumbuhan sektor perbankan. Sehingga banyak industry bank yang tidak sehat. Dengan longgarnya peraturan perbankan, pertumbuhan bank baru masih berlanjut hingga tahun 1994. Dan itulah yang membuat ekspansi kredit makin gencar. Pada tahun 1995, misalnya, di sektor properti saja sudah dikucurkan kredit sekitar Rp 41 triliun. Sementara itu, bank asing juga diizinkan membuka cabang di enam kota besar. Bahkan bentuk patungan bank asing dan swasta nasional juga diizinkan. Dengan demikian, monopoli dana BUMN oleh bank-bank milik Negara terhapuskan. Beberapa bank berubah menjadi bank devisa karena syaratnya kelewat lunak. Meledaknya jumlah bank itu dikuti dengan kompetisi sengit dalam perekrutan tenaga kerja. Juga dalam hal mobilisasi dana deposito dan tabungan. Di sisi lain, ada perlombaan sengit untuk mengucurkan kredit dan pinjaman. Yang terjadi adalah kehati-hatian dan keamanan dalam menyalurkan kredit menjadi terabaikan. Akibatnya pasti, kredit macet menggunung. Beberapa dampak Pakto 88 pada sektor perbankan adalah pertama bank-bank banyak dikuasai para konglomerat sehingga suburlah praktek insider lending alias pemberian kredit untuk kelompok usaha mereka sendiri. Dampak lainnya adalah tingginya suku bunga. Bahkan ada bank swasta yang berani memasang tarif 30 % setahun. Suku bunga tidak lagi ditentukan kekuatan pasar, akibat mekanisme kredit makin tidak sempurna dengan adanya alokasi kredit untuk kalangan sendiri. Kredit macet makin tak terkendali. Selain itu pemilik bank memperkuat status-quo kesenjangan penguasaan sumber ekonomi dalam masyarakat serta investasi banyak dikucurkan ke sektor mewah, misalnya apartemen, perkantoran mewah, dan lapangan golf.

            Ketika rupiah terdepresiasi cukup tajam sebagai dampak dari krisis finansial di Thailand, sektor perbankan tidak mampu menjadi menahan krisis, justru menjadi korban karena neracanya tidak sehat. Hal tersebut ditambah dengan perubahan politik yang tidak jelas arahnya, akhirnya berkembang menjadi krisis kepercayaan. Hal ini telah mendorong terjadinya capital outflow, sehingga rupiah semakin terpuruk bahkan pernah menyentuh level Rp 16000/US$ pada awal tahun 1998.


Tabel Pergerakan Nilai Tukar Rupiah 1995-1999.
             Selain memberi dampak negatif, krisis ekonomi juga membawa dampak positif. Secara umum impor barang, termasuk impor buah menurun tajam, perjalanan ke luar negeri dan pengiriman anak sekolah ke luar negeri juga menurun, kebalikannya arus masuk turis asing akan lebih besar, meningkatkan ekspor khususnya di bidang pertanian, proteksi industri dalam negeri meningkat, dan adanya perbaikan dalam neraca berjalan. Krisis ekonomi juga menciptakan suatu peluang besar bagi Unit Kecil Menengah (UKM) dan Industri Skala Kecil (ISK), yakni pertumbuhan jumlah unit usaha, jumlah pekerja atau pengusaha, munculnya tawaran dari IMB untuk melakukan mitra usaha dengan ISK, peningkatan ekspor, dan peningkatan pendapatan untuk kelompok menengah ke bawah. Namun secara keseluruhan, dampak negatif dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih besar dari dampak positifnya.

 

C. KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN PERAN IMF DALAM MENGATASI KRISIS
            Pada bulan Mei 1998, setelah menghadapi tekanan yang makin luas dari masyarakat, yang diujungtombaki mahasiswa, akhirnya Presiden Soeharto mundur dari jabatannya dan digantikan oleh Wakil Presiden Habibie. Presiden Habibie meminta Menko Ekuin untuk tetap duduk sebagai Menko Ekuin di kabinetnya, dan tetap melanjutkan upaya pemulihan seperti yang telah dirintis sebelumnya. Dalam tempo singkat pemerintah baru bergerak cepat dengan serangkaian kebijakan yang didukung oleh masyarakat internasional. Tujuannya adalah untuk menghentikan kerusakan lebih lanjut pada perekonomian dan segera memacu pemulihan ekonomi. Agenda pemulihan dimaksud ditempuh melalui lima program, yaitu:

1.      Mengembalikan stabilitas makro ekonomi.
2.      Melanjutkan reformasi structural
3.      Merestrukturisasi sistem  perbankan.
4.      Menyelesaikan masalah hutang swasta.
5.      Mengurangi dampak krisis pada  penduduk miskin melalui pelaksanaan JPS (jaring pengaman sosial /social safety net).

             Semua program itu harus dilakukan secepat mungkin. Dengan langkah-langkah tersebut pemerintah berhasil meredam tingkat kerusakan ekonomi akibat krisis, bahkan mampu mengembalikan Indonesia  pada jalur pemulihan yang benar. Hal ini terbukti dengan mulai pulih dan stabilnya nilai tukar rupiah menjadi Rp6.500 sampai Rp7.500 perdolar, dalam kurun waktu yang cukup lama, sampai menjelang pemilihan presiden di bulan Oktober 1999. Inflasi juga terkendali, dari hampir 80%  pada tahun 1998 menjadi 2% saja pada tahun berikutnya (1999).

Tabel inflasi setelah krisis 1998 – 2004.

                  Dengan kondisi ini tingkat suku bunga dapat turun dari sekitar 80% menjadi 11-12%. Konsumsi dalam negeri mulai pulih, khususnya dalam permintaan terhadap industri otomotif dan industri konstruksi. Pendek kata, turbulensi ekonomi itu dalam waktu singkat telah berhasil dikendalikan. Menjelang pertengahan 1999 krisis ekonomi Indonesia telah melampaui titik nadir dan telah mulai akan tumbuh lagi. Sepanjang tahun itu ekonomi berhasil tumbuh sedikit dengan  peningkatan PDB sebesar 0,3%.

Tabel peningkatan PDB Indonesia setelah krisis 1998 – 2005.
                Seandainya momentum pemulihan ekonomi dapat dijaga secara konsisten, berdasarkan prediksi waktu itu, maka pertumbuhan pada tahun 2000 diperkirakan sebesar 4-5%. Yang terpenting adalah bahwa ekspor kembali bergairah, antara lain karena para eksportir menikmati keuntungan atas terdepresiasinya nilai mata uang rupiah. Kecenderungan ini relatif berlaku sama untuk negara-negara yang dilanda krisis, seperti Thailand, Korea Selatan, Malaysia, dan Indonesia. Untuk meredam dampak krisis terhadap masyarakat miskin, dengan cepat diberlakukan  program JPS dalam berbagai bentuk, seperti:

1.      Penyediaan subsidi beras untuk keluarga miskin.
2.      Pemberian beasiswa untuk murid dari SD hingga perguruan tinggi (pelayanannya mencapai 1,7  juta murid).
3.      Pelayanan kesehatan secara cuma-cuma bagi keluarga miskin.
4.      Pembangunan  prasarana desa melalui program padat karya untuk menciptakan lapangan kerja secara massal.

               Pada waktu yang bersamaan, produksi padi telah kembali ke posisi semula, seperti kondisi sebelum krisis. Hal ini, selain karena iklim telah mulai pulih ke kondisi normal, juga karena ditunjang oleh berbagai program pemberdayaan petani yang meliputi pemberian kredit usaha tani dan bantuan teknis melalui perguruan tinggi setempat, LSM, dan koperasi. Rekonstruksi ekonomi seperti yang telah digambarkan di atas dilaksanakan melalui cara konstitusional, dengan berbagai undang-undang dan peraturan, yang dibarengi pula dengan  pembentukan lembaga baru sesuai kebutuhan. Langkah-langkah reformasi yang dilakukan pemerintah adalah :

1.      Pemerintahan Habibie memperkenalkan undang-undang baru tentang kepailitan yang memberikan kepastian hukum 
         kepada kreditur maupun debitur.
2.      Menetapkan mekanisme penyelesaian hutang swasta melalui apa yang dikenal sebagai Prakarsa Jakarta (Jakarta 
         Initiative Task Force).
3.      Penutupan atau pengambilalihan bank yang tidak sehat dan yang melanggar ketentuan.
4.      Memperkuat BPPN dengan mempertegas status kelembagaan dan mengisinya dengan SDM yang professional
5.      Menetapkan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen
6.      Menetapkan peraturan untuk menjamin praktik bisnis yang kompetitif, sehat, dan anti monopoli
7.      Bekerja sama dengan sektor swasta dalam membangun good corporate  governance.

                 Sejalan dengan langkah reformasi di bidang ekonomi ini, pemerintahan Habibie juga memulai reformasi di bidang politik sebagai landasan hidup berdemokrasi, termasuk penyelesaian isu politik yang sensitif di forum internasional, yaitu kasus Timor Timur. Pemilihan umum  berhasil diselenggarakan pada bulan Juni 1999, dan yang dicatat sebagai pemilihan umum multipartai yang sangat demokratis dengan disaksikan oleh para pengamat dari seluruh dunia. Kemudian diikuti dengan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden, dan ini pun dicatat sebagai pemilihan presiden yang paling demokratis sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Langkah lainnya masih banyak lagi. Hak asasi manusia dihormati dan penegakan hukum diupayakan terus menerus. Kepolisian dipisahkan dari tentara (TNI), dan tentara berada di bawah  pengendalian sipil. Kontrol atas media massa dicabut, kebebasan pers diberlakukan, kebebasan  berserikat dan kemerdekaan mengeluarkan pendapat dijamin. Serikat buruh tidak lagi dibatasi oleh beberapa faktor, seperti kinerja yang kurang efisien, tagihan listrik dalam jumlah besar yang tidak dibayar, tetapi sebab utama karena merosotnya nilai tukar rupiah. Jadi tindakan yang pokok adalah pertama mengembalikan dulu nilai rupiah ke tingkat yang wajar dan dari sini baru menghitung besarnya subsidi. Tidak bisa biaya produksi dihitung atas dasar nilai tukar dengan dollar AS yang masih relatif tinggi lalu dibebankan kepada konsumen, sementara pendapatan masyarakat adalah dalam rupiah yang tidak berubah sejak sebelum terjadinya krisis moneter, kalau tidak menurun dan banyaknya PHK. Keadaan ini tidak sebanding, kita harus melihat sebab-sebab lain di balik kenaikan biaya produksi. Bila pendapatan masyarakat dalam rupiah juga ikut naik dua atau tiga kali lipat sesuai dengan kenaikan nilai tukar dollar AS, seperti orang asing yang tinggal di Indonesia misalnya. Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan, siapa yang menjadi penyebab dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini, sehingga nilai tukar valas naik sangat tinggi dan siapa yang menarik keuntungan dari krisis ini? Janganlah rakyat banyak diminta untuk berkorban mengatasi krisis ini atau membebankan di atas penderitaan rakyat dengan misalnya menaikkan harga BBM dan tarif listrik. Di antara saran-saran IMF juga ada yang mengenai perluasan penyertaan modal asing dalam kegiatan ekonomi Indonesia yang terlalu jauh. Modal asing sudah diberi peluang yang cukup besar untuk investasi di Indonesia dengan diperbolehkannya kepemilikan hingga 100% baik untuk pendirian PMA, bank asing maupun penguasaan saham dari perusahaan-perusahaan yang telah go public, kecuali saham bank nasional yang go public. Meskipun demikian IMF masih meminta dihapuskannya larangan membuka cabang bagi bank asing, izin investasi di bidang perdagangan besar dan eceran, dan liberalisasi perdagangan yang jauh lebih liberal dari komitmen resmi pemerintah di forum WTO, AFTAdan APEC.

            Masalahnya bukan sentimen nasionalisme, tetapi apa sumbangan dari keterbukaan ini terhadap restrukturisasi ekonomi dari program IMF, stabilisasi ekonomi dan moneter, dan apa sumbangannya terhadap pemasukan modal asing? Bukan masalah anti asing atau sentimen nasionalisme yang sempit, tetapi apa salahnya bila pemerintah menyisakan bidang kegiatan untuk pengusaha Indonesia, terutama yang bermodal kecil? Apa permintaan IMF ini tidak terlalu jauh? Kedengarannya seperti IMF menerima titipan pesan sponsor dari negara-negara besar yang ingin memaksakan kepentingannya dengan menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Saran IMF lainnya yang disisipkan dalam persetujuan dan tidak ada kaitannya dengan program stabilisasi ekonomi dan moneter adalah desakannya untuk menyusun Undang-Undang Lingkungan Hidup yang baru (butir 50 dari persetujuan IMF tanggal 15 Januari 1998). Ikut campurnya IMF dalam penyelesaian utang swasta adalah sangat baik, karena IMF sebagai lembaga yang disegani bisa banyak membantu memulihkan kepercayaan kreditor.

Program Reformasi Ekonomi IMF 

            Menurut IMF, krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia disebabkan karena pemerintah baru meminta bantuan IMF setelah rupiah sudah sangat terdepresiasi. Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya adalah mengembalikan kepercayaan pada mata uang, yaitu dengan membuat mata uang itu sendiri menarik. Inti dari setiap program pemulihan ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial. (Fischer 1998b). Sementara itu pemerintah Indonesia telah enam kali memperbaharui persetujuannya dengan IMF, Second Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) tanggal 24 Juni, kemudian 29 Juli 1998, dan yang terakhir adalah review yang keempat, tanggal 16 Maret 1999. Program bantuan IMF pertama ditanda-tangani pada tanggal 31 Oktober 1997. Program reformasi ekonomi yang disarankan IMF ini mencakup empat bidang, yaitu :

1.      Penyehatan sektor keuangan.
2.      Kebijakan fiscal.
3.      Kebijakan moneter.
4.      Penyesuaian struktural.

            Untuk menunjang program ini, IMF akan mengalokasikan stand-by credit sekitar US$11,3 milyar selama tiga hingga lima tahun masa program. Sejumlah US$ 3,04 milyar dicairkan segera, jumlah yang sama disediakan setelah 15 Maret 1998 bila program penyehatannya telah dijalankan sesuai persetujuan, dan sisanya akan dicairkan secara bertahap sesuai kemajuan dalam pelaksanaan program. Dari jumlah total pinjaman tersebut, Indonesia sendiri mempunyai kuota di IMF sebesar US$ 2,07 milyar yang bisa dimanfaatkan. Di samping dana bantuan IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan negara-negara sahabat juga menjanjikan pemberian bantuan yang nilai totalnya mencapai lebih kurang US$ 37 milyar. Namun bantuan dari pihak lain ini dikaitkan dengan kesungguhan pemerintah Indonesia melaksanakan program-program yang diprasyaratkan IMF. Sebagai perbandingan, Korea mendapat bantuan dana total sebesar US$ 57 milyar untuk jangka waktu tiga tahun, di antaranya sebesar US$ 21 milyar berasal dari IMF. Thailand hanya memperoleh dana bantuan total sebesar US$ 17,2 milyar, di antaranya US$ 4 milyar dari IMF dan masing-masing US$ 0,5 milyar berasal dari Indonesia dan Korea. Karena dalam beberapa hal program-program yang diprasyaratkan IMF oleh pihak Indonesia dirasakan berat dan tidak mungkin dilaksanakan, maka dilakukanlah negosiasi kedua yang menghasilkan persetujuan mengenai reformasi ekonomi (letter of intent) yang ditanda-tangani pada tanggal 15 Januari 1998, yang mengandung 50 butir. Saran-saran IMF diharapkan akan mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan cepat dan kurs nilai tukar rupiah bisa menjadi stabil (butir 17 persetujuan IMF 15 Januari 1998). Pokok-pokok dari program IMF adalah sebagai berikut:

A.    Kebijakan makro-ekonomi
            -Kebijakan fiscal
            -Kebijakan moneter dan nilai tukar

B.     Restrukturisasi sektor keuangan
            -Program restrukturisasi bank
            -Memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan

C.     Reformasi structural
            -Perdagangan luar negeri dan investasi
            -Deregulasi dan swastanisasi
            -Social safety net-Lingkungan hidup.

            Setelah pelaksanaan reformasi kedua ini kembali menghadapi berbagai hambatan, maka diadakanlah negosiasi ulang yang menghasilkan supplementary memorandum pada tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks. Cakupan memorandum ini lebih luas dari kedua persetujuan sebelumnya, dan aspek baru yang masuk adalah penyelesaian utang luar negeri perusahaan swasta Indonesia. Jadwal pelaksanaan masing-masing program dirangkum dalam matriks komitmen kebijakan struktural.


Strategi yang akan dilaksanakan adalah:

1.      Menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia.
2.      Memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan.
3.      Memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangan ekonomi yang efisiendan berdaya saing.
4.      Menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta.
5.      Kembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga eksporbisa bangkit kembali.


Ke tujuh appendix adalah masing-masing : 

1.      Kebijakan moneter dan suku bunga.
2.      Pembangunan sektor perbankan.
3.      Bantuan anggaran pemerintah untuk golongan lemah.
4.      Reformasi BUMN dan swastanisasi.
5.      Reformasi structural.
6.      Restrukturisasi utang swasta.
7.      Hukum Kebangkrutan dan reformasi yuridis.


            Prioritas utama dari program IMF ini adalah restrukturisasi sektor perbankan. Pemerintah akan terus menjamin kelangsungan kredit murah bagi perusahaan kecil-menengah dan koperasi dengan tambahan dana dari anggaran pemerintah (butir 16 dan 20dari Suplemen). Awal Mei 1998 telah dilakukan pencairan kedua sebesar US$ 989,4 juta dan jumlah yang sama akan dicairkan lagi berturut-turut awal bulan Juni dan awal bulan Juli, bila pemerintah dengan konsekuen melaksanakan program IMF. Sementara itu Menko Ekuin/Kepala Bappenas menegaskan bahwa “Dana IMF dan sebagainya memang tidak kita gunakan untuk intervensi, tetapi untuk mendukung neraca pembayaran serta memberi rasa aman, rasa tenteram, dan rasa kepercayaan terhadap perekonomian bahwa kita memiliki cukup devisa untuk mengimpor dan memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri”. Pencairan berikutnya sebesar US$ 1 milyar yang dijadwalkan awal bulan Juni baru akan terlaksana awal bulan September.


Kritik Terhadap IMF

             Banyak kritik yang dilontarkan oleh berbagai pihak ke alamat IMF dalam hal menangani krisis moneter di Asia, yang paling umum adalah bahwa :

1.      Program IMF terlalu seragam, padahal masalah yang dihadapi tiap negara tidak seluruhnya sama.
2.      Program IMF terlalu banyak mencampuri kedaulatan negara yang dibantu (Fischer, 1998b).

 
            Radelet dan Sachs secara gamblang mentakan bahwa bantuan IMF kepada tiga negara Asia (Thailand, Korea dan Indonesia) telah gagal. Setelah melihat program penyelematan IMF di ketiga negara tersebut, timbul kesan yang kuat bahwa IMF sesungguhnya tidak menguasai permasalahan dari timbulnya krisis, sehingga tidak bisa keluar dengan program penyelamatan yang tepat. Salah satu pemecahan standar IMF adalah menuntut adanya surplus dalam anggaran belanja negara, padahal dalam hal Indonesia anggaran belanja negara sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 hampir selalu surplus, meskipun surplus ini ditutup oleh bantuan luar negeri resmi pemerintah. Adalah kebijakan dari Orde Baru untuk menjaga keseimbangan dalam anggaran belanja negara, dan prinsip ini terus dipegang. Selama ini tidak ada pencetakan uang secara besar-besaran untuk menutup anggaran belanja negara yang defisit, dan tidak ada tingkat inflasi yang melebihi 10%. Memang dalam anggaran belanja negara tahun 1998/1999 terdapat defisit anggaran yang besar, namun ini bukan disebabkan karena kebijakan defisit finansial dari pemerintah, tetapi oleh karena nilai tukar rupiah yang terpuruk terhadap dollar AS.

            Semakin jatuh nilai tukar rupiah, semakin besar defisit yang terjadi dalam anggaran belanja. Karena itu pemecahan utamanya adalah bagaimana mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar. J. Stiglitz,  pemimpin ekonom Bank Dunia, mengkritik bahwa prakondisi IMF yang teramat ketat terhadap negara-negara Asia di tengah krisis yang berkepanjangan berpotensi menyebabkan resesi yang berkepanjangan. Kemudian berlakunya praktek apa yang dinamakan “konsensus Washington”, yaitu negara pengutang lazimnya harus mendapatkan restu pendanaan dari pemerintah AS, yang pada dasarnya hanya memperluas kesempatan ekonomi AS.

            Kabar terakhir menyebutkan bahwa pencairan bantuan tahap ketiga awal Juni akan tertunda lagi atas desakan pemerintah AS yang dikaitkan dengan perkembangan reformasi politik di Indonesia, dan ini akan menunda cairnya bantuan dari sumber-sumber lain (Hartcher dan Ryan). Anwar Nasution mengkritik bahwa reformasi ekonomi yang disarankan IMF bentuknya masih samar-samar. Tidak ada penjelasan rinci, bagaimana caranya untuk meningkatkan penerimaan pemerintah dan mengurangi pengeluaran pemerintah untuk mencapai sasaran surplus anggaran sebesar 1% dari PDB dalam tahun fiskal 1998/99, dan bagaimana ingin dicapai sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 3%. Harapan satu-satunya adalah peningkatan ekspor non-migas, namun kelemahan utama dari IMF adalah tidak ada program yang jelas untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya produksi untuk mendorong ekspor non-migas.

            Penasehat khusus IMF untuk Indonesia (P.R. Narvekar) sendiri juga mengatakan bahwa “IMF kerap menerapkan standar ganda dalam pengambilan keputusan. Di satu pihak, perwakilan IMF mewakili negara dan pemerintahan dengan kebijakan danvisi politik masing-masing, sementara keputusan yang diambil harus mengacu pada fakta konkret ekonomi. Karenanya, ada saja peluang bahwa tudingan atas pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang makin marak belakangan ini, menjadi hal yang disoroti Dewan Direktur IMF dalam pengambilan keputusannya pekan depan”. Demikianpun halnya dengan Bank Dunia. (Kompas, 2 Mei 1998). Sri Mulyani mengemukakan, bahwa di bidang kebijaksanaan makro IMF tidak memperlihatkan adanya konsistensi antar instrumen kebijaksanaan. Di satu pihak IMF memberikan kelenturan dengan mengizinkan dipertahankannya subsidi dan menyediakan dana untuk menciptakan jaringan keselamatan sosial, sedang di lain pihak menganut kebijaksanaan moneter yang kontraktif. Kedua kebijaksanaan ini bisa memandulkan efektivitas kebijaksanaan makro, terutama dalam rangka stabilitas nilai tukar dan inflasi.

            “Secara makro ancaman kegagalan terbesar kesepakatan ketiga ini berasal dari kebijaksanaan moneter yang masih ambivalen, karena keharusan BI melakukan fungsi lender of last resort bagi perbankan nasional, yang bertentangan dengan tema pengetatan, juga ketidak sejalanan kebijaksanaan moneter dan fiskal” 

            Saran IMF menutup sejumlah bank yang bermasalah untuk menyehatkan sistim perbankan Indonesia pada dasarnya adalah tepat, karena cara pengelolaan bank yang amburadul dan tidak mengikuti peraturan, namun dampak psikologisnya dari tindakan ini tidak diperhitungkan. Masyarakat kehilangan kepercayaan kepada otoritas moneter, Bank Indonesia dan perbankan nasional, sehingga memperparah keadaan dan masyarakat beramai-ramai memindahkan dananya dalam jumlah besar ke bank-bank asing dan pemerintah atau ditaruh di rumah, yang menimbulkan krisis likuiditas perbankan nasional yang gawat. Hal ini juga diakui oleh IMF (butir 14, 15 dan 24 dari persetujuan IMF tanggal 15 Januari 1998). Pertanyaan mendasar yang harus ditujukan kepada IMF menurut penulis adalah sejauh mana IMF bersungguh-sungguh dalam hal membantu mengatasi krisis ekonomi yang sedang melanda Indonesia dewasa ini? Apakah sama seperti kesungguhan Amerika Serikat ketika membantu Meksiko bersama-sama dengan IMF dan negara-negara maju lainnya yang berhasil menggalang sebesar hampir US$ 48 milyar Januari 1995? Setelah mencapai titik terendah tahun 1995, perekonomian Meksiko dengan cepat pada tahun 1996 dapat bangkit kembali. Rencana IMF untuk mencairkan bantuannya secara bertahap dalam jarak waktu yang cukup jauh menunjukkan bahwa IMF menekan Indonesia untuk menjalankan programnya secara ketat dan membiarkan keadaan ekonomi Indonesia terus merosot menuju resesi yang berkepanjangan.

            Dengan menahan pencairan bantuan tahap kedua dan setelah diundur, hanya dicicil US$ 1 milyar dari jumlah US$ 3 milyar, ditambah jarak yang cukup lama antara paket bantuan pertama dan kedua, menyulitkan pemulihan ekonomi Indonesia secara cepat, menghilangkan kepercayaan terhadap rupiah, bahkan memperparah keadaan. Karena badan internasional lain dan negara-negara sahabat yang menjanjikan bantuan juga menunggu signal dari IMF, berhubung semua bantuan tambahan yang besarnya mencapai US$ 27 milyar dikaitkan dengan cairnya bantuan IMF. Di lain pihak, kita juga perlu berterima kasih kepada IMF karena dengan menunda mencairkan bantuannya, IMF sedikit banyak mempunyai andil dalam perjuangan menggulirkan tuntutan reformasi politik, ekonomi dan hukum di Indonesia yang pada akhirnya bermuara pada mundurnya Presiden Soeharto.

            Saran IMF untuk menstabilkan nilai tukar adalah dengan menerapkan kebijakan uang ketat, menaikkan suku bunga dan mengembalikan kepercayaan terhadap kebijakan ekonomi,dari waktu ke waktu mengadakan intervensi terbatas di pasar valas dengan petunjuk IMF (butir 14, 16, 17, 21 dari persetujuan 15 Januari 1998, butir 5, 7 dari Suplemen). Sayangnya tidak ada program khusus yang secara langsung ditujukan untuk menguatkan kembali nilai tukar rupiah, juga tidak ada Appendix untuk masalah ini. IMF tidak memecahkan permasalahan yang utama dan yang paling mendesak secara langsung. IMF bisa saja terlebih dahulu mengambil kebijakan memprioritaskan stabilisasi nilai tukar rupiah, kalau mau, dengan mencairkan dana bantuan yang relatif besar pada bulan November, yang didukung oleh bantuan dana dari World Bank, Asian Development Bank dan negara-negara sahabat.

            Dengan demikian timbulnya krisis kepercayaan yang berkepanjangan dapat dicegah. IMF sendiri tampaknya tidak tahu apa yang harus dilakukannya dan berputar-putar pada kebijakan surplus anggaran, uang ketat, tingkat bunga tinggi, pembenahan sector riil yang memang perlu dan sudah sangat mendesak, dan titipan-titipan khusus dari negara-negara maju yaitu membuka peluang investasi yang seluas-luasnya bagi mereka dengan menggunakan kesempatan dalam kesempitan Indonesia. Di lain pihak memang harus diakui bahwa tekanan ini perlu untuk memastikan kesungguhan Indonesia, karena untuk beberapa tindakan memang ada tanda-tanda kekurang sungguhan di pihak Indonesia. Tidak adanya program dari IMF yang jelas dan berjangka pendek untuk mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar dan menstabilkannya membuat pemerintah cukup lama terombang-ambing antara memilih program IMF atau currency board system, yang justru menjanjikan kepastian dan kestabilan nilai tukar pada tingkat yang wajar. Krisis ekonomi yang tengah berlangsung ini memang bukan tanggung jawab IMF dan tidak bisa dipecahkan oleh IMF sendiri. Namun kekurangan yang paling utama dari IMF adalah bahwa IMF dalam program bantuannya tidak mencari pemecahan terhadap masalah yang pokok dan sangat mendesak ini dan berputar-putar pada reformasi structural yang dampaknya jangka panjang. Bila semua kekuatan bantuan ini dikumpulkan sekaligus secara dini, maka hal ini dengan cepat akan memulihkan kembali kepercayaan masyarakat dalam negeri dan internasional. Namun bantuan dana IMF dan ketergantungan harapan pada IMF ini disalahgunakan untuk menekan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan reformasi struktural secara besar-besaran. Ibaratnya orang yang sudah hampir tenggelam diombang-ambing ombak laut tidak segera ditolong dengan dilempari pelampung, tetapi disuruh belajar berenang dahulu. Reformasi struktural sebagaimana yang dianjurkan oleh IMF memang mendasardan penting, tetapi dampak hasilnya baru bisa dirasakan dalam jangka panjang, sementara pemecahan masalahnya sudah sangat mendesak, di mana makin ditunda makin banyak perusahaan yang jatuh bergelimpangan.

            Banyak perusahaan yang mengandalkan pasaran dalam negeri tidak bisa menjual barang hasil produksinya karena perusahaan-perusahaan ini umumnya memiliki kandungan impor yang tinggi dan harga jualnya menjadi tidak terjangkau dengan semakin jatuhnya nilai tukar rupiah. Jadi, utang luar negeri swasta dan nilai tukar rupiah yang merosot jauh dari nilai riilnya adalah masalah-masalah dasar jangka pendek, yang lama tidak disinggung oleh IMF. Di sini timbul keragu-raguan akan kemurnian kebijakan reformasi IMF, sehingga timbul teka-teki, apakah IMF benar-benar tidak melihat inti permasalahannya atau berpura-pura tidak tahu? Atau IMF mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk memaksakan perubahan-perubahan yang sudah lama menjadi duri di matanya dan bagi Bank Dunia serta mewakili kepentingan-kepentingan asing? Tampaknya di balik anjuran program pemulihan kegiatan ekonomi ada titipan-titipan politik dan ekonomi dari negara-negara besar tertentu.

            Program reformasi IMF secara mencurigakan mengulang kembali tuntutan-tuntutan deregulasi ekonomi yang sudah sejak bertahun-tahun didengungkan oleh Bank Dunia dan belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Permintaan IMF untuk menghentikan dengan segera perlakuan pembebasan pajak dan kemudahan kredit untuk proyek mobil nasional dan IPTN adalah tepat , karena  dalam  jangka  pendek  proyek  ini akan  mengacaukan  kebijakan  pemerintah di bidang fiskal, anggaran dan moneter secara berarti. Juga saran IMF untuk menghapuskan subsidi BBM dan listrik yang kian membesar secara bertahap dalam jangka waktu tiga tahun sudah benar. Subsidi listrik relatif lebih mudah untuk dihapuskan, yakni melalui subsidi silang sehingga masyarakat berpenghasilan rendah tetap dikenakan tarif listrik yang murah dan melalui peningkatan efisiensi, misalnya penagihan yang lebih efektif. Namun penurunan subsidi BBM dan listrik oleh pemerintah secara drastis dan mendadak pada tanggal 4 Mei 1998 yang lalu mempunyai dampak yang sangat luas terhadap perekonomian rakyat kecil, meskipun kepentingan rakyat kecil sangat diperhatikan dengan adanya jaringan keselamatan sosial. Tindakan drastis ini sedikit banyak telah membantu memicu terjadinya kerusuhan-kerusuhan sosial dan politik. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah, apakah pemerintah tidak bisa menunda kenaikan BBM dan listrik untuk beberapa bulan, menunggu keresahan masyarakat reda? Di sini pemerintah salah membaca isi dari kesepakatan dengan IMF, karena IMF menganjurkan penghapusan subsidi secara bertahap dan tidak secara mendadak. Dalam suplemen program IMF April 1998 disebutkan bahwa subsidi masih bisa diberikan kepada beberapa jenis barang yang banyak dikonsumsi oleh penduduk berpenghasilan rendah seperti bahan makanan, BBM dan listrik. Dalam situasi sekarang hampir tidak ada peluang untuk meningkatkan pajak. Baru pada tanggal 1 Oktober 1998 direncanakan subsidi akan diturunkan secara berarti. (butir 10 dan 11 dari Suplemen). Subsidi untuk bahan pangan, BBM dan listrik sudah diperhitungkan dan dinaikkan dalam anggaran pemerintah (butir 20 dari Suplemen). Membengkaknya subsidi ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kinerja yang kurang efisien, tagihan listrik dalam jumlah besar yang tidak dibayar, tetapi sebab utama karena merosotnya nilai tukar rupiah.



C. PERBEDAAN KRISIS EKONOMI 97-98 DENGAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2015
 

            Anjloknya nilai rupiah di awal 2015 berbeda dengan saat krisis ekonomi dan moneter 1998 silam. Menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang  Brodjonegoro dalam konferensi pers keterangan Perkembangan Ekonomi Indonesia Terkini, Kondisi sekarang (2015) berbeda dengan 1998, saat ini memang dolar lagi menguat, ekonomi AS sedang membaik. Jadi bukan hanya rupiah (yang melemah) tapi mata uang yang lainnya juga. Beliau berharap, masyarakat tidak panik dengan kondisi melemahnya rupiah yang saat ini mencapai level Rp13.000 per USD.

            Berdasarkan kurs transaksi BI Selasa (10/3), nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS menjadi 13.124 (kurs jual) /12.994 (kurs beli) dibandingkan dengan posisi kemarin 13.112/12.982 per dolar AS. Namun rupiah menguat terhadap euro menjadi 14.211,98/14.068,60 dibanding posisi kemarin 14.218,65/14.072,49.

            Nilai tukar rupiah juga menguat terhadap yen Jepang menjadi 10.788,33/10.679,71 dibanding posisi kemarin sebesar 10.849,81/10.740,46. Rupiah juga menguat terhadap dolar Australia menjadi 10.060,86/9.958,60 dibandingkan dengan nilai kemarin sebesar 10.093,62/9.988,35.
Pelemahan rupiah yang terjadi dengan intensitas yang tinggi saat ini, berbeda dengan kondisi krisis pada 1998.

Empat Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 :

            Yang pertama, stok utang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”.

            Yang kedua disebabkan oleh adalah banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.
Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an, mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan.

            Yang ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi.

            Yang keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.Faktor situasi politik merupakan hal yang paling sulit diatasi karena kegagalan dalam mengembalikan stabilitas sosial-politik  mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum pemulihan secara mantap dan berkesinambungan. Penguatan USD murni mereka sedang berjaya di tahun ini, hal itu terlihat USD yang menguat terhadap hampir semua mata uang dunia, termasuk euro dan yen. Sehingga bukan hanya rupiah saja yang mengalami pelemahan.


DAFTAR PUSTAKA


 
1.       http://ock-t.blogspot.com/2011/12/krisis-ekonomi-di-indonesia-tahun-1997.html
2.       http://www.academia.edu/5221392/KRISIS_MONETER_INDONESIA_SEBAB_DAMPAK_PERAN_IMF_DAN_SARAN_
3.       http://beritaekonomi-terkini.blogspot.com/2013/09/akankah-terulang-krisis-ekonomi.html
4.       https://putracenter.wordpress.com/2009/02/10/4-penyebab-krisis-ekonomi-indonesia-tahun-1997-1998-apakah-akan-
          terulang-pada-krisis-ekonomi-sekarang/
5.       http://www.academia.edu/7142696/KRISIS_EKONOMI_DAN_MASA_DEPAN_EKONOMI_INDONESIA_Oleh
6.       http://www.slideshare.net/annasherley/kelompok-3-makalah-krisis-ekonomi
7.       http://www.academia.edu/9179660/PEREKONOMIAN_INDONESIA
8.       https://putracenter.wordpress.com/2009/02/10/4-penyebab-krisis-ekonomi-indonesia-tahun-1997-1998-apakah-akan-                 terulang-pada-krisis-ekonomi-sekarang/
9.       http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/09/10/0806314/Pelajaran.Krisis.1997/1998
10.     http://beritaekonomi-terkini.blogspot.com/2013/09/akankah-terulang-krisis-ekonomi.html
11.     www.tradingeconomics.com
12.     http://www.satuharapan.com/read-detail/read/situasi-rupiah-2015-berbeda-dengan-1998




NOTE:
PENULISAN INI UNTUK MENYELESAIKAN TUGAS KELOMPOK UNTUK MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA

Rabu, 29 April 2015

Analisis Krisis Ekonomi Tahun 1997-1998

Diposting oleh Unknown di 10:49 13 komentar
PENDAHULUAN
            Krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997 adalah yang paling parah sepanjang orde baru. Ditandai dengan merosotnya kurs rupiah terhadap dolar yang luar biasa, serta menurunnya pendapatan per kapita bangsa kita yang sangat drastis. Lebih jauh lagi, sejumlah pabrik dan industri yang hampir gulung tikar atau disita oleh kreditor menyusul utang sebagian pengusaha yang jatuh tempo pada tahun 1998, dan tidak lama lagi akan menghasilkan ribuan pengangguran baru dengan sederet persoalan Sosial, Ekonomi, dan Politik yang baru pula.

            Sejak kemerdekaan hingga saat ini, Indonesia telah mengalami beberapa fase pemerintahan. Salah satunya adalah zaman pemerintahan orde baru hingga Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya. Pada pemerintahan ini, dapat dikatakan bahwa ekonomi Indonesia berkembang pesat. Dengan kembali membaiknya hubungan politik dengan negara-negara barat dan adanya kesungguhan pemerintah untuk melakukan rekonstruksi dan pembangunan ekonomi,maka arus modal mulai masuk kembali ke Indonesia. PMA dan bantuan luar negeri setiap tahun terus meningkat. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan pemerintah dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, terutama ekspor yang sempat mengalami kemunduran pada masa orde lama. Indonesia juga sempat masuk dalam kelompok Asian Tiger, yakni Negara-negara yang tingkat prekonomiannya sangat tinggi.

            Namun disamping kelebihan-kelebihan tersebut, terdapat kekurangan dalam pemerintahan orde baru. Kebijakan-kebijakan ekonomi masa orde baru memang telah membuat pertumbuhan ekonomi meningkat pesat, tetapi dengan biaya yang sangat mahal dan fundamental ekonomi yang rapuh. Hal ini dapat dilihat pada buruknya kondisi sektor perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap modal asing, termasuk pinjaman dan impor. Inilah yang akhirnya membuat Indonesia dilanda suatu krisis ekonomi yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada pertengahan tahun 1997. Kecenderungan melemahnya rupiah semakin menjadi ketika terjadi penembakan mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 dan aksi penjarahan pada tanggal 14 Mei 1998.

            Sejak berdirirnya orde baru tahun 1966-1998, terjadi krisis rupiah pada pertengahan tahun 1997 yang berkembang menjadi suatu krisis ekonomi yang besar. Krisis pada tahun ini jauh lebih parah dan kompleks dibandingkan dengan krisis-krisis sebelumnya yang pernah dialami oleh Indonesia. Hal ini terbukti dengan mundurnya Soeharto sebagai presiden. Kerusuhan Mei 1998, menghancurkan sektor perbankan dan indikator-indikator lainnya, baik ekonomi, sosial, maupun politik. Faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab suatu krisis moneter yang berubah menjadi krisis ekonomi yang besar, yakni terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS lebih dari 200% dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang.



PEMBAHASAN
A. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KRISIS

            Ada asap pasti ada api. Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa sesuatu yang terjadi, itu pasti ada penyebabnya. Begitu pula dengan adanya krisis yang terjadi, pasti ada faktor-faktor yang menyebabkan krisis itu terjadi. Analisis dari faktor-faktor ini diperlukan, karena untuk menangani krisis tersebut tergantung dari ketepatan diagnosa.

            Tabel Pertumbuhan ekonomi dari tahun 1984 – 1999.

          Menjelang meletupnya krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis keuangan pada pertengahan tahun 1997, Indonesia termasuk di antara beberapa negara berkembang yang dinilai sebagai sangat berhasil dalam pembangunannya. Ekonomi Indonesia termasuk di beberapa negara Asia yang mengalami kemajuan sedemikian rupa sehingga disebut sebagai miracle. Indonesia sering dijadikan contoh untuk negara-negara berkembang lain bagi program-program  yang  dianggap  berhasil,  seperti  dalam  bidang  keluarga berencana dan penanggulangan kemiskinan. Beberapa indikator makro kondisi ekonomi Indonesia beberapa saat sebelum krisis dapat diangkat kembali sebagai bukti.

Peningkatan pendapatan per kapita.

            Dalam kurun waktu tiga puluh tahun, sejak tahun1965 sampai 1995, PDB per kapita secara riil mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 6,6% setiap tahunnya. Pada pertengahan tahun 1960-an Indonesia lebih miskin dari India, kemudian pada pertengahan tahun 1990-an PDB per kapita Indonesia melampaui US$ 1.000 yang berarti lebih dari tiga kalinya India (World Bank 1997). Untuk melihat perbandingan pertumbuhan PDB per kapita Indonesia dengan India, bisa dilihat table berikut.
Penurunan laju inflasi.

            Sekitar awal tahun 1960 sampai akhir tahun 1960-an Indonesia mengalami inflasi yang luar biasa tinggi bahkan pernah sampai 600%, tetapi sejak itu lambat laun dapat dikendalikan. Sampai dengan tahun-tahun terakhir sebelum terjadinya krisis (1997) , Indonesia berhasil menekan laju inflasinya pada angka satu digit saja. Tetapi, pada awal tahun 1998 laju inflasi Indonesia mulai tidak terkendali, sampai akhirnya terjadi krisis pada pertengahan tahun 1998. Pada awal tahun 1999 setelah krisis berakhir tingkat inflasi mulai bisa dikendalikan dan pada akhir 1999 tingkat inflasi sudah kembali normal pada angka satu digit.

Tabel laju inflasi Indonesia tahun 1997 – 2000.
Peningkatan pendapatan petani dan tercapainya swasembada pangan.

            Berbagai kebijakan dan langkah pembangunan yang telah berhasil mengendalikan inflasi dan meredam fluktuasi harga barang, dibarengi dengan investasi yang strategis dalam peningkatan produktivitas pertanian. Dengan demikian kebijakan itu telah meningkatkan pendapatan petani dan masyarakat di pedesaan, sekaligus menciptakan stabilitas harga beras yang menjadi makanan pokok rakyat Indonesia. Peningkatan pendapatan masyarakat di tingkat bawah ini telah mendorong tumbuhnya  berbagai  industri, baik industri kecil maupun industri besar. Juga telah kita saksikan berkembangnya ekonomi rakyat yang ternyata cukup tangguh dalam menghadapi berbagai gejolak ekonomi.

Peningkatan output manufaktur dalam sumbangannya terhadap PDB.

            Peran industri pengolahan dalam PDB mengalami kenaikan yang sangat berarti, dari 7,6% pada tahun 1973 menjadi hampir 25% pada tahun 1995. Hal ini khususnya didorong oleh pertumbuhan ekspor produk-produk olahan seperti garment  (pakaian jadi), produk kain dan alas kaki, barang-barang elektronik dan kayu lapis. Ekspor non migas, yang kini telah menjadi bagian terbesar dari produk industri pengolahan kita, mengalami kenaikan sekitar 22% setiap tahunnya selama satu dekade penuh, yaitu sejak tahun 1985 ketika deregulasi diberlakukan untuk pertama kalinya sampai dengan tahun 1995, dan kenaikan ini adalah empat kali lebih cepat dibandingkan dengan rata-rata kenaikan perdagangan dunia (Stern 2000).

Penurunan tingkat kemiskinan

            Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional mengalami penurunan secara dramatis, yaitu dari sekitar 69% pada tahun1970 menjadi 49% pada tahun 1976 kemudian menjadi 15% pada tahun 1990 dan mencapai11,5% pada tahun 1996. Sebelum terjadinya krisis, diperkirakan bahwa menjelang tahun 2005, ketika PDB per kapita Indonesia mencapai US$2.300, dan ketika Indonesia layak disebut sebagai a middle-income industrialized country, angka kemiskinan akan menurun secara tajam menjadi kurang dari 5%, atau kira-kira sama tingkatannya dengan newlyindustrialized country lainnya. Berdasarkan salah satu dokumen Bank Dunia (1997), di antara negara-negara sedang berkembang Indonesia dinyatakan sebagai salah satu negara yang paling cepat mengurangi angka kemiskinannya. Prestasi ini diperoleh setelah kita melakukan upaya pembangunan di berbagai bidang dengan strategi pertumbuhan yang berorientasi padat karya dan didukung oleh pembangunan sumber daya manusianya, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan. Pada waktu yang bersamaan, upaya tersebut telah meningkatkan pendapatan riil masyarakat dengan cepat, sama cepatnya dengan peningkatan PDB  perkapita. 


Lalu setelah itu, krisis pun datang dan bergejolak di Indonesia. Berikut ini Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun 1997 - 1998 :

1.   Jumlah hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.

            Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau hutang publik lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani (manageable). Akan tetapi untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (Data Bank Dunia, 1998). Hal ini mirip dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis. Dalam banyak hal, boleh dikatakan bahwa negara telah menjadi korban dari keberhasilannya sendiri. Mengapa demikian? Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka.

            Daya tarik dari “dynamic economies’” ini telah menyebabkan net capital inflows atau arus modal masuk (yang meliputi hutang jangka panjang, penanaman modal asing, dan equity purchases) ke wilayah Asia Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih dari US$110 milyar pada tahun 1996 (Greenspan 1997). Sayangnya, banyaknya modal yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian atau industri, tetapi justru masuk ke pembiayaan konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia dan Thailand, ke sektor perumahan (real estate). Di sektor-sektor ini memang terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk tadi, tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan ekonomi nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain, karena derasnya arus modal yang masuk itu.

            Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga keuangan membuat pinjaman atas dasar perhitungan aset yang telah “digelembungkan” yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi lebih lanjut (Kelly and Olds 1999). Ini adalah akibat dari sistem yang sering disebut sebagai “crony capitalism”. Moral hazard dan penggelembungan aset tersebut, seperti dijelaskan oleh Krugman (1998), adalah suatu strategi “kalau untung aku yang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung (heads I win tails somebody else loses)”. Di tengah pusaran (virtous circle) yang semakin hari makin membesar ini, lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet and Sachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman (maturity) hutang swasta tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor swasta adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank 1998).

 

2. Banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri dan melemahnya angka rupiah yang menyebabkan krisis moneter.

            Sebagian besar produksi terhenti dan laju pertumbuhan ekonomi selama periode 1962 - 1966 kurang dari 2% yang mengakibatkan penurunan pendapatan per kapita. Defisit anggaran belanja pemerintah yang sebagian besar dibiayai dengan kredit dari BI meningkat tajam dari 63%  dari penerimaan pemerintah tahun 1962 menjadi 127% tahun 1966.Selain itu,buruknya perekonomian Indonesia masa transisi juga disebabkan oleh besarnya defisit neraca perdagangan dan utang luar negeri, yang kebanyakan diperoleh dari negara blok timur serta inflasi yang sangat tinggi. Disamping itu, pengawasan devisa yang amat ketat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS naik dua atau tiga kali lipat. Akibatnya terjadi kegiatan spekulatif dan pelarian modal ke luar negeri. Hal ini memperburuk perekonomian Indonesia pada masa itu.

            Bulan September 1984, Indonesia mengalami krisis perbankan, yang bermula dari deregulasi perbankan 1 Juni 1983 yang memaksa bank-bank negara untuk memobilisasi dana mereka dan memikul risiko kredit macet,serta bebas untuk menentukan tingkat suku bunga, baik deposito berjangka maupun kredit (Nasution,1987). Masalah-masalah tersebut terus berlangsung hingga terjadi krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997.

            Mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan di sektor perbankan dan pasar modal.

Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain kemudahan membuka bank baru, pemberian ijin kepada bank asing beroperasi di Jakarta, penghapusan batas kredit, dan mengijinkan investor asing memiliki saham domestik. Paket kebijakan itu diantaranya adalah Paket 27 Oktober 1988 . Paket itu adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah perbankan Indonesia. Hanya dengan modal Rp 10 milyar, siapa saja bisa mendirikan bank baru. Paket Oktober 1988 (Pakto 88) dianggap telah banyak mengubah kehidupan perbankan nasional. Keberhasilan itu dinyatakan dalam angka-angka absolut seperti pada jumlah bank, kantor cabang, jumlah dana yang dihimpun, jumlah kredit yang disalurkan, tenaga kerja yang mampu dipekerjakan, serta volume usaha dalam bentuk aset dan hasil-hasilnya. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau kekurangan modal, tetapi tetap dibiarkan beroperasi. Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung akibat neracanya yang tidak sehat.

            Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir tahun itu telah berubah menjadi krisis ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, menyebabkan harga-harga naik drastis. Banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran meningkat dan bahan-bahan sembako semakin langka. Krisis ini tetap terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, cadangan devisa masih cukup besar dan realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.

Berikut Tabel Pertumbuhan ekonomi, Tingkat inflasi, dll.
             Menanggapi perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mulai merosot sejak bulan Mei 1997, pada bulan Juli 1997 BI melakukan empat kali intervensi dengan memperlebar rentang intervensi. Namun pengaruhnya tidak banyak. Nilai rupiah dalam dolar AS terus tertekan. Tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai nilai terendah hingga saat itu, yakni dari Rp2.655,00 menjadi Rp2.682,00 per dollar AS. BI akhirnya menghapuskan rentang intervensi dan pada akhirnya rupiah turun ke Rp2.755,00 per dollar AS. Tetapi terkadang nilai rupiah juga mengalami penguatan beberapa poin. Misalnya, pada bulan Maret 1988 nilai rupiah mencapai Rp10.550,00 untuk satu dollar AS, walaupun sebelumnya, antara bulan Januari dan Februari sempat menembus Rp11.000,00 rupiah per dollar AS. Selama periode Agustus 1997-1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terendah terjadi pada bulan Juli 1998, yakni mencapai nilai antara Rp14.000,00 dan Rp15.000,00 per dollar AS. Sedangkan dari bulan September 1998 hingga Mei 1999, perkembangan kurs rupiah terhadap dolar AS berada pada nilai antara Rp8.000,00 dan Rp11.000,00 per dollar AS. Selama periode 1 Januari 1998 hingga 5 Agustus 1998, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan mata uang-mata uang Negara-negara Asia lainnya yang juga mengalami depresiasi terhadap dolar AS selama periode tersebut.

Perubahan Nilai Tukar Mata Uang Beberapa Negara Asia : 30/6/97-8/5/98
          Sebagai konsekuensinya, BI pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Dengan demikian, BI tidak melakukan intervensi lagi di pasar valuta asing, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar.

 
3. Sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.

            Hill (1999) menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-intrik politiknya yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak pemerintah, untuk mengambil tindakan tegas di tengah krisis. Jauh sebelum krisis terjadi, investor asing dan pelaku bisnis yang bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan kurangnya transparansi, dan lemahnya perlindungan maupun kepastian hukum. Persoalan ini sering dikaitkan dengan tingginya “biaya siluman” yang harus dikeluarkan bila orang melakukan kegiatan bisnis di sini. Anehnya, selama Indonesia menikmati economic boom persepsi negatif tersebut tidak terlalu menghambat ekonomi Indonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul menjadi penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis. Masalah ini pulalah yang mengurangi kemampuan kelembagaan pemerintah untuk bertindak cepat, adil, dan efektif. Akhirnya semua itu berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.


4.  Perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.

            Faktor ini merupakan hal yang paling sulit diatasi. Kegagalan dalam mengembalikan stabilitas sosial-politik telah mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum pemulihan secara mantap dan berkesinambungan.

            Meskipun persoalan perbankan dan hutang swasta menjadi penyebab dari krisis ekonomi, namun, kedua faktor yang disebut terakhir di atas adalah penyebab lambatnya pemulihan krisis di Indonesia. Pemulihan ekonomi masyarakat, bahkan tidak mungkin dicapai, tanpa pulihnya kepercayaan pasar, dan kepercayaan pasar tidak mungkin pulih tanpa stabilitas politik dan adanya permerintahan yang terpercaya (credible).


5. Krisis ekonomi yang berawal dari Thailand dan berdampak pada perekonomian di Negara Negara  Asean.

            Menurut Fischer (1998), sesungguhnya pada masa kejayaan Negara-negara Asia Tenggara, krisis di beberapa negara, seperti Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia, sudah bisa diramalkan meski waktunya tidak dapat dipastikan. Misalnya di Thailand dan Indonesia, defisit neraca perdagangan terlalu besar dan terus meningkat setiap tahun, sementara pasar properti dan pasar modal di dalam negeri berkembang pesat tanpa terkendali. Selain itu, nilai tukar mata uang di dua Negara tersebut dipatok terhadap dolar AS terlalu rendah yang mengakibatkan ada kecenderungan besar dari dunia usaha didalam negeri untuk melakukan pinjaman luar negeri, sehingga banyak perusahaan dan lembaga keuangan di negara-negara itu menjadi sangat rentan terhadap risiko perubahan nilai tukar valuta asing. Dan yang terakhir adalah aturan serta pengawasan keuangan oleh otoriter moneter di Thailand dan Indonesia yang sangat longgar hingga kualitas pinjaman portfolio perbankan sangat rendah.

            Dari tahun 1985 ke tahun 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada 1996, dana hedge Amerika telah menjual $400 juta mata uang Thai. Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok 25 bath per dollar AS. Pada tanggal 14 dan tanggal 15 Mei 1997, nilai tukar bath Thailand terhadap dolar AS mengalami goncangan akibat para investor asing mengambil keputusan “jual”, karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian dan ketidakstabilan politik Negara Thailand. Untuk mempertahankan nilai tukar bath agar tidak jatuh terus, Thailand melakukan intervensi yang didukung oleh Bank Sentral Singapura. Namun, pada tanggal 2 Juli 1997, Bank Sentral Thailand mengumumkan bahwa nilai tukar bath dibebaskan dari ikatan dollar AS dan meminta bantuan IMF. Pengumuman ini menyebabkan nilai bath terdepresiasi sekitar 15-20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 bath per dollar AS. Pada 1997, sebenarnya kondisi ekonomi di Indonesia tampak jauh dari krisis.Tidak seperti Thailand, tingkat inflasi Indonesia lebih rendah. Nilai tukar rupiah terhadap dolar, menguat. Dalam kondisi ekonomi seperti itulah, banyak perusahaan di Indonesia meminjam uang dalam bentuk dolar AS.

            Krisis moneter yang terjadi di Thailand ini, menyebabkan Indonesia dan beberapa negara Asia, seperti Filipina, Korea dan Malaysia mengalami krisis keuangan. Ketika krisis melanda Thailand, nilai baht terhadap dolar anjlok dan menyebabkan nilai dolar menguat. Penguatan nilai tukar dolar berimbas ke rupiah. Sekitar bulan Juli 1997, di Indonesia terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, nilai rupiah terus merosot. Di bulan Agustus 1997 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah dari Rp2.500,00 menjadi Rp2.650,00 per dolar AS. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil. Padahal, pada saat itu hutang luar negeri Indonesia, baik swasta maupun pemerintah, sudah sangat besar. Tatanan perbankan nasional kacau dan cadangan devisa semakin menipis. Perusahaan yang tadinya banyak meminjam dolar (ketika nilai tukar rupiah kuat terhadap dolar), kini sibuk memburu atau membeli dolar untuk membayar bunga pinjaman mereka yang telah jatuh tempo, dan harus dibayar dengan dolar. Nilai rupiah pun semakin jatuh lebih dalam lagi. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi tidak mampu memperbaiki keadaan. Malahan akhirnya paket bantuan IMF itu, yang dalam penggunaannya banyak terjadi penyelewengan, semakin menambah beban utang yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia.


Indikator-indikator Makro ekonomi Indonesia Sebelum Krisis Finansial Asia

Indikator Makro Ekonomi Tahun Besaran
6. Harga minyak bumi tidak stabil

            Fluktuasi harga minyak bumi yang sulit diprediksi dan kecenderungan menurunnya harga minyak bumi di pasar dunia pada awal 1980, telah mendorong pemerintah untuk mengalihkan ketergantungan perekonomian dari sektor migas ke sektor non migas. Terkait dengan hal tersebut pemerintah melakukan deregulasi di bidang industrialisasi, antara lain memberi kelonggaran bagi investor asing di bidang ekspor-impor, menurunkan tarif bea masuk impor bahan baku dan barang modal, menyederhanakan prosedur ekspor impor, dan memberikan fasilitas drawback system pada impor bahan baku dan barang modal yang digunakan untuk ekspor.

 

B. DAMPAK KRISIS TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA


            Sejak bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena imbas krisis moneter yang menimpa dunia khususnya Asia Tenggara. Struktur ekonomi nasional Indonesia saat itu masih lemah untuk mampu menghadapi krisis global tersebut. Dampak negatif yang ditimbulkan antara lain, kurs rupiah terhadap dollar AS melemah pada tanggal 1 Agustus 1997, pemerintah melikuidasi 16 bank bermasalah pada akhir tahun 1997, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mengawasi 40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk membantu bank-bank bermasalah tersebut. Namun kenyataannya terjadi manipulasi besar-besaran terhadap dana KLBI yang murah tersebut. Dampak negatif lainnya adalah kepercayaan internasional terhadap Indonesia menurun, perusahaan milik Negara dan swasta banyak yang tidak dapat membayar utang luar negeri yang akan dan telah jatuh tempo, angka pemutusan hubungan kerja meningkat karena banyak perusahaan yang melakukan efisiensi atau menghentikan kegiatannya, kesulitan menutup APBN, biaya sekolah di luar negeri melonjak, laju inflasi yang tinggi, angka kemiskinan meningkat dan persediaan barang nasional, khususnya Sembilan bahan pokok di pasaran mulai menipis pada akhir tahun 1997. Akibatnya, harga-harga barang naik tidak terkendali dan berarti biaya hidup semakin tinggi.

            Meningkatnya ekspor dan investasi telah mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat pesat hingga mencapai rata-rata diatas 7% sejak tahun 1989-1996. Kuatnya fundamental ekonomi menjadi daya tarik bagi investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia. Hal tersebut telah mendorong peningkatan utang swasta berjangka pendek maupun jangka panjang hingga mencapai sekitar 157% terhadap PDB pada tahun 1998. Sayangnya utang-utang tersebut tidak dimanfaatkan pada sektor yang produksif seperti industry komoditas ekspor, tetapi justru ditanamkan pada sektor-sektor kurang produktif seperti konsumsi, real estate, dan lainnya. Sedangkan kinerja ekspor justru mengalami perlambatan sebagai dampak dari menguatnya nilai tukar rupiah.

 
Tabel Pergerakan Rasio Utang Luar Negeri 1990-1999.
              Di sektor perbankan, mekanisme pengawasan tidak efektif dan tidak mampu mengikuti pesatnya pertumbuhan sektor perbankan. Sehingga banyak industry bank yang tidak sehat. Dengan longgarnya peraturan perbankan, pertumbuhan bank baru masih berlanjut hingga tahun 1994. Dan itulah yang membuat ekspansi kredit makin gencar. Pada tahun 1995, misalnya, di sektor properti saja sudah dikucurkan kredit sekitar Rp 41 triliun. Sementara itu, bank asing juga diizinkan membuka cabang di enam kota besar. Bahkan bentuk patungan bank asing dan swasta nasional juga diizinkan. Dengan demikian, monopoli dana BUMN oleh bank-bank milik Negara terhapuskan. Beberapa bank berubah menjadi bank devisa karena syaratnya kelewat lunak. Meledaknya jumlah bank itu dikuti dengan kompetisi sengit dalam perekrutan tenaga kerja. Juga dalam hal mobilisasi dana deposito dan tabungan. Di sisi lain, ada perlombaan sengit untuk mengucurkan kredit dan pinjaman. Yang terjadi adalah kehati-hatian dan keamanan dalam menyalurkan kredit menjadi terabaikan. Akibatnya pasti, kredit macet menggunung. Beberapa dampak Pakto 88 pada sektor perbankan adalah pertama bank-bank banyak dikuasai para konglomerat sehingga suburlah praktek insider lending alias pemberian kredit untuk kelompok usaha mereka sendiri. Dampak lainnya adalah tingginya suku bunga. Bahkan ada bank swasta yang berani memasang tarif 30 % setahun. Suku bunga tidak lagi ditentukan kekuatan pasar, akibat mekanisme kredit makin tidak sempurna dengan adanya alokasi kredit untuk kalangan sendiri. Kredit macet makin tak terkendali. Selain itu pemilik bank memperkuat status-quo kesenjangan penguasaan sumber ekonomi dalam masyarakat serta investasi banyak dikucurkan ke sektor mewah, misalnya apartemen, perkantoran mewah, dan lapangan golf.

            Ketika rupiah terdepresiasi cukup tajam sebagai dampak dari krisis finansial di Thailand, sektor perbankan tidak mampu menjadi menahan krisis, justru menjadi korban karena neracanya tidak sehat. Hal tersebut ditambah dengan perubahan politik yang tidak jelas arahnya, akhirnya berkembang menjadi krisis kepercayaan. Hal ini telah mendorong terjadinya capital outflow, sehingga rupiah semakin terpuruk bahkan pernah menyentuh level Rp 16000/US$ pada awal tahun 1998.


Tabel Pergerakan Nilai Tukar Rupiah 1995-1999.
             Selain memberi dampak negatif, krisis ekonomi juga membawa dampak positif. Secara umum impor barang, termasuk impor buah menurun tajam, perjalanan ke luar negeri dan pengiriman anak sekolah ke luar negeri juga menurun, kebalikannya arus masuk turis asing akan lebih besar, meningkatkan ekspor khususnya di bidang pertanian, proteksi industri dalam negeri meningkat, dan adanya perbaikan dalam neraca berjalan. Krisis ekonomi juga menciptakan suatu peluang besar bagi Unit Kecil Menengah (UKM) dan Industri Skala Kecil (ISK), yakni pertumbuhan jumlah unit usaha, jumlah pekerja atau pengusaha, munculnya tawaran dari IMB untuk melakukan mitra usaha dengan ISK, peningkatan ekspor, dan peningkatan pendapatan untuk kelompok menengah ke bawah. Namun secara keseluruhan, dampak negatif dari jatuhnya nilai tukar rupiah masih lebih besar dari dampak positifnya.

 

C. KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN PERAN IMF DALAM MENGATASI KRISIS
            Pada bulan Mei 1998, setelah menghadapi tekanan yang makin luas dari masyarakat, yang diujungtombaki mahasiswa, akhirnya Presiden Soeharto mundur dari jabatannya dan digantikan oleh Wakil Presiden Habibie. Presiden Habibie meminta Menko Ekuin untuk tetap duduk sebagai Menko Ekuin di kabinetnya, dan tetap melanjutkan upaya pemulihan seperti yang telah dirintis sebelumnya. Dalam tempo singkat pemerintah baru bergerak cepat dengan serangkaian kebijakan yang didukung oleh masyarakat internasional. Tujuannya adalah untuk menghentikan kerusakan lebih lanjut pada perekonomian dan segera memacu pemulihan ekonomi. Agenda pemulihan dimaksud ditempuh melalui lima program, yaitu:

1.      Mengembalikan stabilitas makro ekonomi.
2.      Melanjutkan reformasi structural
3.      Merestrukturisasi sistem  perbankan.
4.      Menyelesaikan masalah hutang swasta.
5.      Mengurangi dampak krisis pada  penduduk miskin melalui pelaksanaan JPS (jaring pengaman sosial /social safety net).

             Semua program itu harus dilakukan secepat mungkin. Dengan langkah-langkah tersebut pemerintah berhasil meredam tingkat kerusakan ekonomi akibat krisis, bahkan mampu mengembalikan Indonesia  pada jalur pemulihan yang benar. Hal ini terbukti dengan mulai pulih dan stabilnya nilai tukar rupiah menjadi Rp6.500 sampai Rp7.500 perdolar, dalam kurun waktu yang cukup lama, sampai menjelang pemilihan presiden di bulan Oktober 1999. Inflasi juga terkendali, dari hampir 80%  pada tahun 1998 menjadi 2% saja pada tahun berikutnya (1999).

Tabel inflasi setelah krisis 1998 – 2004.

                  Dengan kondisi ini tingkat suku bunga dapat turun dari sekitar 80% menjadi 11-12%. Konsumsi dalam negeri mulai pulih, khususnya dalam permintaan terhadap industri otomotif dan industri konstruksi. Pendek kata, turbulensi ekonomi itu dalam waktu singkat telah berhasil dikendalikan. Menjelang pertengahan 1999 krisis ekonomi Indonesia telah melampaui titik nadir dan telah mulai akan tumbuh lagi. Sepanjang tahun itu ekonomi berhasil tumbuh sedikit dengan  peningkatan PDB sebesar 0,3%.

Tabel peningkatan PDB Indonesia setelah krisis 1998 – 2005.
                Seandainya momentum pemulihan ekonomi dapat dijaga secara konsisten, berdasarkan prediksi waktu itu, maka pertumbuhan pada tahun 2000 diperkirakan sebesar 4-5%. Yang terpenting adalah bahwa ekspor kembali bergairah, antara lain karena para eksportir menikmati keuntungan atas terdepresiasinya nilai mata uang rupiah. Kecenderungan ini relatif berlaku sama untuk negara-negara yang dilanda krisis, seperti Thailand, Korea Selatan, Malaysia, dan Indonesia. Untuk meredam dampak krisis terhadap masyarakat miskin, dengan cepat diberlakukan  program JPS dalam berbagai bentuk, seperti:

1.      Penyediaan subsidi beras untuk keluarga miskin.
2.      Pemberian beasiswa untuk murid dari SD hingga perguruan tinggi (pelayanannya mencapai 1,7  juta murid).
3.      Pelayanan kesehatan secara cuma-cuma bagi keluarga miskin.
4.      Pembangunan  prasarana desa melalui program padat karya untuk menciptakan lapangan kerja secara massal.

               Pada waktu yang bersamaan, produksi padi telah kembali ke posisi semula, seperti kondisi sebelum krisis. Hal ini, selain karena iklim telah mulai pulih ke kondisi normal, juga karena ditunjang oleh berbagai program pemberdayaan petani yang meliputi pemberian kredit usaha tani dan bantuan teknis melalui perguruan tinggi setempat, LSM, dan koperasi. Rekonstruksi ekonomi seperti yang telah digambarkan di atas dilaksanakan melalui cara konstitusional, dengan berbagai undang-undang dan peraturan, yang dibarengi pula dengan  pembentukan lembaga baru sesuai kebutuhan. Langkah-langkah reformasi yang dilakukan pemerintah adalah :

1.      Pemerintahan Habibie memperkenalkan undang-undang baru tentang kepailitan yang memberikan kepastian hukum 
         kepada kreditur maupun debitur.
2.      Menetapkan mekanisme penyelesaian hutang swasta melalui apa yang dikenal sebagai Prakarsa Jakarta (Jakarta 
         Initiative Task Force).
3.      Penutupan atau pengambilalihan bank yang tidak sehat dan yang melanggar ketentuan.
4.      Memperkuat BPPN dengan mempertegas status kelembagaan dan mengisinya dengan SDM yang professional
5.      Menetapkan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen
6.      Menetapkan peraturan untuk menjamin praktik bisnis yang kompetitif, sehat, dan anti monopoli
7.      Bekerja sama dengan sektor swasta dalam membangun good corporate  governance.

                 Sejalan dengan langkah reformasi di bidang ekonomi ini, pemerintahan Habibie juga memulai reformasi di bidang politik sebagai landasan hidup berdemokrasi, termasuk penyelesaian isu politik yang sensitif di forum internasional, yaitu kasus Timor Timur. Pemilihan umum  berhasil diselenggarakan pada bulan Juni 1999, dan yang dicatat sebagai pemilihan umum multipartai yang sangat demokratis dengan disaksikan oleh para pengamat dari seluruh dunia. Kemudian diikuti dengan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden, dan ini pun dicatat sebagai pemilihan presiden yang paling demokratis sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Langkah lainnya masih banyak lagi. Hak asasi manusia dihormati dan penegakan hukum diupayakan terus menerus. Kepolisian dipisahkan dari tentara (TNI), dan tentara berada di bawah  pengendalian sipil. Kontrol atas media massa dicabut, kebebasan pers diberlakukan, kebebasan  berserikat dan kemerdekaan mengeluarkan pendapat dijamin. Serikat buruh tidak lagi dibatasi oleh beberapa faktor, seperti kinerja yang kurang efisien, tagihan listrik dalam jumlah besar yang tidak dibayar, tetapi sebab utama karena merosotnya nilai tukar rupiah. Jadi tindakan yang pokok adalah pertama mengembalikan dulu nilai rupiah ke tingkat yang wajar dan dari sini baru menghitung besarnya subsidi. Tidak bisa biaya produksi dihitung atas dasar nilai tukar dengan dollar AS yang masih relatif tinggi lalu dibebankan kepada konsumen, sementara pendapatan masyarakat adalah dalam rupiah yang tidak berubah sejak sebelum terjadinya krisis moneter, kalau tidak menurun dan banyaknya PHK. Keadaan ini tidak sebanding, kita harus melihat sebab-sebab lain di balik kenaikan biaya produksi. Bila pendapatan masyarakat dalam rupiah juga ikut naik dua atau tiga kali lipat sesuai dengan kenaikan nilai tukar dollar AS, seperti orang asing yang tinggal di Indonesia misalnya. Dalam kaitan ini perlu dipertanyakan, siapa yang menjadi penyebab dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini, sehingga nilai tukar valas naik sangat tinggi dan siapa yang menarik keuntungan dari krisis ini? Janganlah rakyat banyak diminta untuk berkorban mengatasi krisis ini atau membebankan di atas penderitaan rakyat dengan misalnya menaikkan harga BBM dan tarif listrik. Di antara saran-saran IMF juga ada yang mengenai perluasan penyertaan modal asing dalam kegiatan ekonomi Indonesia yang terlalu jauh. Modal asing sudah diberi peluang yang cukup besar untuk investasi di Indonesia dengan diperbolehkannya kepemilikan hingga 100% baik untuk pendirian PMA, bank asing maupun penguasaan saham dari perusahaan-perusahaan yang telah go public, kecuali saham bank nasional yang go public. Meskipun demikian IMF masih meminta dihapuskannya larangan membuka cabang bagi bank asing, izin investasi di bidang perdagangan besar dan eceran, dan liberalisasi perdagangan yang jauh lebih liberal dari komitmen resmi pemerintah di forum WTO, AFTAdan APEC.

            Masalahnya bukan sentimen nasionalisme, tetapi apa sumbangan dari keterbukaan ini terhadap restrukturisasi ekonomi dari program IMF, stabilisasi ekonomi dan moneter, dan apa sumbangannya terhadap pemasukan modal asing? Bukan masalah anti asing atau sentimen nasionalisme yang sempit, tetapi apa salahnya bila pemerintah menyisakan bidang kegiatan untuk pengusaha Indonesia, terutama yang bermodal kecil? Apa permintaan IMF ini tidak terlalu jauh? Kedengarannya seperti IMF menerima titipan pesan sponsor dari negara-negara besar yang ingin memaksakan kepentingannya dengan menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Saran IMF lainnya yang disisipkan dalam persetujuan dan tidak ada kaitannya dengan program stabilisasi ekonomi dan moneter adalah desakannya untuk menyusun Undang-Undang Lingkungan Hidup yang baru (butir 50 dari persetujuan IMF tanggal 15 Januari 1998). Ikut campurnya IMF dalam penyelesaian utang swasta adalah sangat baik, karena IMF sebagai lembaga yang disegani bisa banyak membantu memulihkan kepercayaan kreditor.

Program Reformasi Ekonomi IMF 

            Menurut IMF, krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia disebabkan karena pemerintah baru meminta bantuan IMF setelah rupiah sudah sangat terdepresiasi. Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya adalah mengembalikan kepercayaan pada mata uang, yaitu dengan membuat mata uang itu sendiri menarik. Inti dari setiap program pemulihan ekonomi adalah restrukturisasi sektor finansial. (Fischer 1998b). Sementara itu pemerintah Indonesia telah enam kali memperbaharui persetujuannya dengan IMF, Second Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) tanggal 24 Juni, kemudian 29 Juli 1998, dan yang terakhir adalah review yang keempat, tanggal 16 Maret 1999. Program bantuan IMF pertama ditanda-tangani pada tanggal 31 Oktober 1997. Program reformasi ekonomi yang disarankan IMF ini mencakup empat bidang, yaitu :

1.      Penyehatan sektor keuangan.
2.      Kebijakan fiscal.
3.      Kebijakan moneter.
4.      Penyesuaian struktural.

            Untuk menunjang program ini, IMF akan mengalokasikan stand-by credit sekitar US$11,3 milyar selama tiga hingga lima tahun masa program. Sejumlah US$ 3,04 milyar dicairkan segera, jumlah yang sama disediakan setelah 15 Maret 1998 bila program penyehatannya telah dijalankan sesuai persetujuan, dan sisanya akan dicairkan secara bertahap sesuai kemajuan dalam pelaksanaan program. Dari jumlah total pinjaman tersebut, Indonesia sendiri mempunyai kuota di IMF sebesar US$ 2,07 milyar yang bisa dimanfaatkan. Di samping dana bantuan IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan negara-negara sahabat juga menjanjikan pemberian bantuan yang nilai totalnya mencapai lebih kurang US$ 37 milyar. Namun bantuan dari pihak lain ini dikaitkan dengan kesungguhan pemerintah Indonesia melaksanakan program-program yang diprasyaratkan IMF. Sebagai perbandingan, Korea mendapat bantuan dana total sebesar US$ 57 milyar untuk jangka waktu tiga tahun, di antaranya sebesar US$ 21 milyar berasal dari IMF. Thailand hanya memperoleh dana bantuan total sebesar US$ 17,2 milyar, di antaranya US$ 4 milyar dari IMF dan masing-masing US$ 0,5 milyar berasal dari Indonesia dan Korea. Karena dalam beberapa hal program-program yang diprasyaratkan IMF oleh pihak Indonesia dirasakan berat dan tidak mungkin dilaksanakan, maka dilakukanlah negosiasi kedua yang menghasilkan persetujuan mengenai reformasi ekonomi (letter of intent) yang ditanda-tangani pada tanggal 15 Januari 1998, yang mengandung 50 butir. Saran-saran IMF diharapkan akan mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan cepat dan kurs nilai tukar rupiah bisa menjadi stabil (butir 17 persetujuan IMF 15 Januari 1998). Pokok-pokok dari program IMF adalah sebagai berikut:

A.    Kebijakan makro-ekonomi
            -Kebijakan fiscal
            -Kebijakan moneter dan nilai tukar

B.     Restrukturisasi sektor keuangan
            -Program restrukturisasi bank
            -Memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan

C.     Reformasi structural
            -Perdagangan luar negeri dan investasi
            -Deregulasi dan swastanisasi
            -Social safety net-Lingkungan hidup.

            Setelah pelaksanaan reformasi kedua ini kembali menghadapi berbagai hambatan, maka diadakanlah negosiasi ulang yang menghasilkan supplementary memorandum pada tanggal 10 April 1998 yang terdiri atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks. Cakupan memorandum ini lebih luas dari kedua persetujuan sebelumnya, dan aspek baru yang masuk adalah penyelesaian utang luar negeri perusahaan swasta Indonesia. Jadwal pelaksanaan masing-masing program dirangkum dalam matriks komitmen kebijakan struktural.


Strategi yang akan dilaksanakan adalah:

1.      Menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia.
2.      Memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan.
3.      Memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangan ekonomi yang efisiendan berdaya saing.
4.      Menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta.
5.      Kembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga eksporbisa bangkit kembali.


Ke tujuh appendix adalah masing-masing : 

1.      Kebijakan moneter dan suku bunga.
2.      Pembangunan sektor perbankan.
3.      Bantuan anggaran pemerintah untuk golongan lemah.
4.      Reformasi BUMN dan swastanisasi.
5.      Reformasi structural.
6.      Restrukturisasi utang swasta.
7.      Hukum Kebangkrutan dan reformasi yuridis.


            Prioritas utama dari program IMF ini adalah restrukturisasi sektor perbankan. Pemerintah akan terus menjamin kelangsungan kredit murah bagi perusahaan kecil-menengah dan koperasi dengan tambahan dana dari anggaran pemerintah (butir 16 dan 20dari Suplemen). Awal Mei 1998 telah dilakukan pencairan kedua sebesar US$ 989,4 juta dan jumlah yang sama akan dicairkan lagi berturut-turut awal bulan Juni dan awal bulan Juli, bila pemerintah dengan konsekuen melaksanakan program IMF. Sementara itu Menko Ekuin/Kepala Bappenas menegaskan bahwa “Dana IMF dan sebagainya memang tidak kita gunakan untuk intervensi, tetapi untuk mendukung neraca pembayaran serta memberi rasa aman, rasa tenteram, dan rasa kepercayaan terhadap perekonomian bahwa kita memiliki cukup devisa untuk mengimpor dan memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri”. Pencairan berikutnya sebesar US$ 1 milyar yang dijadwalkan awal bulan Juni baru akan terlaksana awal bulan September.


Kritik Terhadap IMF

             Banyak kritik yang dilontarkan oleh berbagai pihak ke alamat IMF dalam hal menangani krisis moneter di Asia, yang paling umum adalah bahwa :

1.      Program IMF terlalu seragam, padahal masalah yang dihadapi tiap negara tidak seluruhnya sama.
2.      Program IMF terlalu banyak mencampuri kedaulatan negara yang dibantu (Fischer, 1998b).

 
            Radelet dan Sachs secara gamblang mentakan bahwa bantuan IMF kepada tiga negara Asia (Thailand, Korea dan Indonesia) telah gagal. Setelah melihat program penyelematan IMF di ketiga negara tersebut, timbul kesan yang kuat bahwa IMF sesungguhnya tidak menguasai permasalahan dari timbulnya krisis, sehingga tidak bisa keluar dengan program penyelamatan yang tepat. Salah satu pemecahan standar IMF adalah menuntut adanya surplus dalam anggaran belanja negara, padahal dalam hal Indonesia anggaran belanja negara sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 hampir selalu surplus, meskipun surplus ini ditutup oleh bantuan luar negeri resmi pemerintah. Adalah kebijakan dari Orde Baru untuk menjaga keseimbangan dalam anggaran belanja negara, dan prinsip ini terus dipegang. Selama ini tidak ada pencetakan uang secara besar-besaran untuk menutup anggaran belanja negara yang defisit, dan tidak ada tingkat inflasi yang melebihi 10%. Memang dalam anggaran belanja negara tahun 1998/1999 terdapat defisit anggaran yang besar, namun ini bukan disebabkan karena kebijakan defisit finansial dari pemerintah, tetapi oleh karena nilai tukar rupiah yang terpuruk terhadap dollar AS.

            Semakin jatuh nilai tukar rupiah, semakin besar defisit yang terjadi dalam anggaran belanja. Karena itu pemecahan utamanya adalah bagaimana mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar. J. Stiglitz,  pemimpin ekonom Bank Dunia, mengkritik bahwa prakondisi IMF yang teramat ketat terhadap negara-negara Asia di tengah krisis yang berkepanjangan berpotensi menyebabkan resesi yang berkepanjangan. Kemudian berlakunya praktek apa yang dinamakan “konsensus Washington”, yaitu negara pengutang lazimnya harus mendapatkan restu pendanaan dari pemerintah AS, yang pada dasarnya hanya memperluas kesempatan ekonomi AS.

            Kabar terakhir menyebutkan bahwa pencairan bantuan tahap ketiga awal Juni akan tertunda lagi atas desakan pemerintah AS yang dikaitkan dengan perkembangan reformasi politik di Indonesia, dan ini akan menunda cairnya bantuan dari sumber-sumber lain (Hartcher dan Ryan). Anwar Nasution mengkritik bahwa reformasi ekonomi yang disarankan IMF bentuknya masih samar-samar. Tidak ada penjelasan rinci, bagaimana caranya untuk meningkatkan penerimaan pemerintah dan mengurangi pengeluaran pemerintah untuk mencapai sasaran surplus anggaran sebesar 1% dari PDB dalam tahun fiskal 1998/99, dan bagaimana ingin dicapai sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 3%. Harapan satu-satunya adalah peningkatan ekspor non-migas, namun kelemahan utama dari IMF adalah tidak ada program yang jelas untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya produksi untuk mendorong ekspor non-migas.

            Penasehat khusus IMF untuk Indonesia (P.R. Narvekar) sendiri juga mengatakan bahwa “IMF kerap menerapkan standar ganda dalam pengambilan keputusan. Di satu pihak, perwakilan IMF mewakili negara dan pemerintahan dengan kebijakan danvisi politik masing-masing, sementara keputusan yang diambil harus mengacu pada fakta konkret ekonomi. Karenanya, ada saja peluang bahwa tudingan atas pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang makin marak belakangan ini, menjadi hal yang disoroti Dewan Direktur IMF dalam pengambilan keputusannya pekan depan”. Demikianpun halnya dengan Bank Dunia. (Kompas, 2 Mei 1998). Sri Mulyani mengemukakan, bahwa di bidang kebijaksanaan makro IMF tidak memperlihatkan adanya konsistensi antar instrumen kebijaksanaan. Di satu pihak IMF memberikan kelenturan dengan mengizinkan dipertahankannya subsidi dan menyediakan dana untuk menciptakan jaringan keselamatan sosial, sedang di lain pihak menganut kebijaksanaan moneter yang kontraktif. Kedua kebijaksanaan ini bisa memandulkan efektivitas kebijaksanaan makro, terutama dalam rangka stabilitas nilai tukar dan inflasi.

            “Secara makro ancaman kegagalan terbesar kesepakatan ketiga ini berasal dari kebijaksanaan moneter yang masih ambivalen, karena keharusan BI melakukan fungsi lender of last resort bagi perbankan nasional, yang bertentangan dengan tema pengetatan, juga ketidak sejalanan kebijaksanaan moneter dan fiskal” 

            Saran IMF menutup sejumlah bank yang bermasalah untuk menyehatkan sistim perbankan Indonesia pada dasarnya adalah tepat, karena cara pengelolaan bank yang amburadul dan tidak mengikuti peraturan, namun dampak psikologisnya dari tindakan ini tidak diperhitungkan. Masyarakat kehilangan kepercayaan kepada otoritas moneter, Bank Indonesia dan perbankan nasional, sehingga memperparah keadaan dan masyarakat beramai-ramai memindahkan dananya dalam jumlah besar ke bank-bank asing dan pemerintah atau ditaruh di rumah, yang menimbulkan krisis likuiditas perbankan nasional yang gawat. Hal ini juga diakui oleh IMF (butir 14, 15 dan 24 dari persetujuan IMF tanggal 15 Januari 1998). Pertanyaan mendasar yang harus ditujukan kepada IMF menurut penulis adalah sejauh mana IMF bersungguh-sungguh dalam hal membantu mengatasi krisis ekonomi yang sedang melanda Indonesia dewasa ini? Apakah sama seperti kesungguhan Amerika Serikat ketika membantu Meksiko bersama-sama dengan IMF dan negara-negara maju lainnya yang berhasil menggalang sebesar hampir US$ 48 milyar Januari 1995? Setelah mencapai titik terendah tahun 1995, perekonomian Meksiko dengan cepat pada tahun 1996 dapat bangkit kembali. Rencana IMF untuk mencairkan bantuannya secara bertahap dalam jarak waktu yang cukup jauh menunjukkan bahwa IMF menekan Indonesia untuk menjalankan programnya secara ketat dan membiarkan keadaan ekonomi Indonesia terus merosot menuju resesi yang berkepanjangan.

            Dengan menahan pencairan bantuan tahap kedua dan setelah diundur, hanya dicicil US$ 1 milyar dari jumlah US$ 3 milyar, ditambah jarak yang cukup lama antara paket bantuan pertama dan kedua, menyulitkan pemulihan ekonomi Indonesia secara cepat, menghilangkan kepercayaan terhadap rupiah, bahkan memperparah keadaan. Karena badan internasional lain dan negara-negara sahabat yang menjanjikan bantuan juga menunggu signal dari IMF, berhubung semua bantuan tambahan yang besarnya mencapai US$ 27 milyar dikaitkan dengan cairnya bantuan IMF. Di lain pihak, kita juga perlu berterima kasih kepada IMF karena dengan menunda mencairkan bantuannya, IMF sedikit banyak mempunyai andil dalam perjuangan menggulirkan tuntutan reformasi politik, ekonomi dan hukum di Indonesia yang pada akhirnya bermuara pada mundurnya Presiden Soeharto.

            Saran IMF untuk menstabilkan nilai tukar adalah dengan menerapkan kebijakan uang ketat, menaikkan suku bunga dan mengembalikan kepercayaan terhadap kebijakan ekonomi,dari waktu ke waktu mengadakan intervensi terbatas di pasar valas dengan petunjuk IMF (butir 14, 16, 17, 21 dari persetujuan 15 Januari 1998, butir 5, 7 dari Suplemen). Sayangnya tidak ada program khusus yang secara langsung ditujukan untuk menguatkan kembali nilai tukar rupiah, juga tidak ada Appendix untuk masalah ini. IMF tidak memecahkan permasalahan yang utama dan yang paling mendesak secara langsung. IMF bisa saja terlebih dahulu mengambil kebijakan memprioritaskan stabilisasi nilai tukar rupiah, kalau mau, dengan mencairkan dana bantuan yang relatif besar pada bulan November, yang didukung oleh bantuan dana dari World Bank, Asian Development Bank dan negara-negara sahabat.

            Dengan demikian timbulnya krisis kepercayaan yang berkepanjangan dapat dicegah. IMF sendiri tampaknya tidak tahu apa yang harus dilakukannya dan berputar-putar pada kebijakan surplus anggaran, uang ketat, tingkat bunga tinggi, pembenahan sector riil yang memang perlu dan sudah sangat mendesak, dan titipan-titipan khusus dari negara-negara maju yaitu membuka peluang investasi yang seluas-luasnya bagi mereka dengan menggunakan kesempatan dalam kesempitan Indonesia. Di lain pihak memang harus diakui bahwa tekanan ini perlu untuk memastikan kesungguhan Indonesia, karena untuk beberapa tindakan memang ada tanda-tanda kekurang sungguhan di pihak Indonesia. Tidak adanya program dari IMF yang jelas dan berjangka pendek untuk mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar dan menstabilkannya membuat pemerintah cukup lama terombang-ambing antara memilih program IMF atau currency board system, yang justru menjanjikan kepastian dan kestabilan nilai tukar pada tingkat yang wajar. Krisis ekonomi yang tengah berlangsung ini memang bukan tanggung jawab IMF dan tidak bisa dipecahkan oleh IMF sendiri. Namun kekurangan yang paling utama dari IMF adalah bahwa IMF dalam program bantuannya tidak mencari pemecahan terhadap masalah yang pokok dan sangat mendesak ini dan berputar-putar pada reformasi structural yang dampaknya jangka panjang. Bila semua kekuatan bantuan ini dikumpulkan sekaligus secara dini, maka hal ini dengan cepat akan memulihkan kembali kepercayaan masyarakat dalam negeri dan internasional. Namun bantuan dana IMF dan ketergantungan harapan pada IMF ini disalahgunakan untuk menekan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan reformasi struktural secara besar-besaran. Ibaratnya orang yang sudah hampir tenggelam diombang-ambing ombak laut tidak segera ditolong dengan dilempari pelampung, tetapi disuruh belajar berenang dahulu. Reformasi struktural sebagaimana yang dianjurkan oleh IMF memang mendasardan penting, tetapi dampak hasilnya baru bisa dirasakan dalam jangka panjang, sementara pemecahan masalahnya sudah sangat mendesak, di mana makin ditunda makin banyak perusahaan yang jatuh bergelimpangan.

            Banyak perusahaan yang mengandalkan pasaran dalam negeri tidak bisa menjual barang hasil produksinya karena perusahaan-perusahaan ini umumnya memiliki kandungan impor yang tinggi dan harga jualnya menjadi tidak terjangkau dengan semakin jatuhnya nilai tukar rupiah. Jadi, utang luar negeri swasta dan nilai tukar rupiah yang merosot jauh dari nilai riilnya adalah masalah-masalah dasar jangka pendek, yang lama tidak disinggung oleh IMF. Di sini timbul keragu-raguan akan kemurnian kebijakan reformasi IMF, sehingga timbul teka-teki, apakah IMF benar-benar tidak melihat inti permasalahannya atau berpura-pura tidak tahu? Atau IMF mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk memaksakan perubahan-perubahan yang sudah lama menjadi duri di matanya dan bagi Bank Dunia serta mewakili kepentingan-kepentingan asing? Tampaknya di balik anjuran program pemulihan kegiatan ekonomi ada titipan-titipan politik dan ekonomi dari negara-negara besar tertentu.

            Program reformasi IMF secara mencurigakan mengulang kembali tuntutan-tuntutan deregulasi ekonomi yang sudah sejak bertahun-tahun didengungkan oleh Bank Dunia dan belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Permintaan IMF untuk menghentikan dengan segera perlakuan pembebasan pajak dan kemudahan kredit untuk proyek mobil nasional dan IPTN adalah tepat , karena  dalam  jangka  pendek  proyek  ini akan  mengacaukan  kebijakan  pemerintah di bidang fiskal, anggaran dan moneter secara berarti. Juga saran IMF untuk menghapuskan subsidi BBM dan listrik yang kian membesar secara bertahap dalam jangka waktu tiga tahun sudah benar. Subsidi listrik relatif lebih mudah untuk dihapuskan, yakni melalui subsidi silang sehingga masyarakat berpenghasilan rendah tetap dikenakan tarif listrik yang murah dan melalui peningkatan efisiensi, misalnya penagihan yang lebih efektif. Namun penurunan subsidi BBM dan listrik oleh pemerintah secara drastis dan mendadak pada tanggal 4 Mei 1998 yang lalu mempunyai dampak yang sangat luas terhadap perekonomian rakyat kecil, meskipun kepentingan rakyat kecil sangat diperhatikan dengan adanya jaringan keselamatan sosial. Tindakan drastis ini sedikit banyak telah membantu memicu terjadinya kerusuhan-kerusuhan sosial dan politik. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah, apakah pemerintah tidak bisa menunda kenaikan BBM dan listrik untuk beberapa bulan, menunggu keresahan masyarakat reda? Di sini pemerintah salah membaca isi dari kesepakatan dengan IMF, karena IMF menganjurkan penghapusan subsidi secara bertahap dan tidak secara mendadak. Dalam suplemen program IMF April 1998 disebutkan bahwa subsidi masih bisa diberikan kepada beberapa jenis barang yang banyak dikonsumsi oleh penduduk berpenghasilan rendah seperti bahan makanan, BBM dan listrik. Dalam situasi sekarang hampir tidak ada peluang untuk meningkatkan pajak. Baru pada tanggal 1 Oktober 1998 direncanakan subsidi akan diturunkan secara berarti. (butir 10 dan 11 dari Suplemen). Subsidi untuk bahan pangan, BBM dan listrik sudah diperhitungkan dan dinaikkan dalam anggaran pemerintah (butir 20 dari Suplemen). Membengkaknya subsidi ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kinerja yang kurang efisien, tagihan listrik dalam jumlah besar yang tidak dibayar, tetapi sebab utama karena merosotnya nilai tukar rupiah.



C. PERBEDAAN KRISIS EKONOMI 97-98 DENGAN PEREKONOMIAN INDONESIA 2015
 

            Anjloknya nilai rupiah di awal 2015 berbeda dengan saat krisis ekonomi dan moneter 1998 silam. Menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang  Brodjonegoro dalam konferensi pers keterangan Perkembangan Ekonomi Indonesia Terkini, Kondisi sekarang (2015) berbeda dengan 1998, saat ini memang dolar lagi menguat, ekonomi AS sedang membaik. Jadi bukan hanya rupiah (yang melemah) tapi mata uang yang lainnya juga. Beliau berharap, masyarakat tidak panik dengan kondisi melemahnya rupiah yang saat ini mencapai level Rp13.000 per USD.

            Berdasarkan kurs transaksi BI Selasa (10/3), nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS menjadi 13.124 (kurs jual) /12.994 (kurs beli) dibandingkan dengan posisi kemarin 13.112/12.982 per dolar AS. Namun rupiah menguat terhadap euro menjadi 14.211,98/14.068,60 dibanding posisi kemarin 14.218,65/14.072,49.

            Nilai tukar rupiah juga menguat terhadap yen Jepang menjadi 10.788,33/10.679,71 dibanding posisi kemarin sebesar 10.849,81/10.740,46. Rupiah juga menguat terhadap dolar Australia menjadi 10.060,86/9.958,60 dibandingkan dengan nilai kemarin sebesar 10.093,62/9.988,35.
Pelemahan rupiah yang terjadi dengan intensitas yang tinggi saat ini, berbeda dengan kondisi krisis pada 1998.

Empat Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia tahun 1997-1998 :

            Yang pertama, stok utang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”.

            Yang kedua disebabkan oleh adalah banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.
Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an, mekanisme pengendalian dan pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor perbankan.

            Yang ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi.

            Yang keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.Faktor situasi politik merupakan hal yang paling sulit diatasi karena kegagalan dalam mengembalikan stabilitas sosial-politik  mempersulit kinerja ekonomi dalam mencapai momentum pemulihan secara mantap dan berkesinambungan. Penguatan USD murni mereka sedang berjaya di tahun ini, hal itu terlihat USD yang menguat terhadap hampir semua mata uang dunia, termasuk euro dan yen. Sehingga bukan hanya rupiah saja yang mengalami pelemahan.


DAFTAR PUSTAKA


 
1.       http://ock-t.blogspot.com/2011/12/krisis-ekonomi-di-indonesia-tahun-1997.html
2.       http://www.academia.edu/5221392/KRISIS_MONETER_INDONESIA_SEBAB_DAMPAK_PERAN_IMF_DAN_SARAN_
3.       http://beritaekonomi-terkini.blogspot.com/2013/09/akankah-terulang-krisis-ekonomi.html
4.       https://putracenter.wordpress.com/2009/02/10/4-penyebab-krisis-ekonomi-indonesia-tahun-1997-1998-apakah-akan-
          terulang-pada-krisis-ekonomi-sekarang/
5.       http://www.academia.edu/7142696/KRISIS_EKONOMI_DAN_MASA_DEPAN_EKONOMI_INDONESIA_Oleh
6.       http://www.slideshare.net/annasherley/kelompok-3-makalah-krisis-ekonomi
7.       http://www.academia.edu/9179660/PEREKONOMIAN_INDONESIA
8.       https://putracenter.wordpress.com/2009/02/10/4-penyebab-krisis-ekonomi-indonesia-tahun-1997-1998-apakah-akan-                 terulang-pada-krisis-ekonomi-sekarang/
9.       http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/09/10/0806314/Pelajaran.Krisis.1997/1998
10.     http://beritaekonomi-terkini.blogspot.com/2013/09/akankah-terulang-krisis-ekonomi.html
11.     www.tradingeconomics.com
12.     http://www.satuharapan.com/read-detail/read/situasi-rupiah-2015-berbeda-dengan-1998




NOTE:
PENULISAN INI UNTUK MENYELESAIKAN TUGAS KELOMPOK UNTUK MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA
 

Khayuata Home Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review